Tanggal 15 Agustus nanti akan menandai dua tahun berkuasanya Taliban di Afghanistan. Hingga saat ini belum ada satu negara pun memberikan pengakuan resmi atas pemerintahan Taliban, termasuk Indonesia.
Alasan utamanya adalah belum ada perubahan signifikan yang dijanjikan Taliban ketika mengambil alih kekuasaan, antara lain pembentukan pemerintahan yang inklusif, perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak-hak perempuan dan anak perempuan, serta tidak menjadikan wilayah Afghanistan sebagai tempat persembunyian dan basis organisasi teroris.
Yang terjadi justru sebaliknya. Taliban melarang anak perempuan dari tingkat sekolah kanak-kanak hingga menengah atas untuk menempuh pendidikan, dan membatasi jurusan yang dapat diambil mereka yang ingin kuliah di perguruan tinggi.
Perempuan dilarang bekerja, kecuali di institusi pemerintah. Perempuan yang bekerja di berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan badan bantuan internasional bahkan diperintahkan untuk mengundurkan diri. Baru-baru ini Taliban memerintahkan penutupan semua salon kecantikan di seantero negeri itu.
Rakyat Afghanistan tidak serta merta menerima semua aturan itu, tetapi semuanya kerap berakhir dengan penangkapan. Tak jarang mereka dikenai hukuman kejam di depan publik, yang bertujuan untuk meredam tindakan serupa di masa depan.
Pada awal 2023, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan bahwa saat ini sebanyak 28,3 juta rakyat Afghanistan, atau berarti lebih dari separuh jumlah penduduknya, membutuhkan bantuan kemanusiaan. Oleh karena itu, dibutuhkan bantuan hingga $4,6 miliar untuk membantu mereka. Namun hingga April lalu baru lima persen dari kebutuhan itu yang tersedia.
Belum Ada Pengakuan Internasional
Indonesia termasuk salah satu negara yang belum mengakui pemerintahan Taliban, tetapi mengizinkan kelompok ini datang ke Tanah Air, meskipun bersifat informal dan terbatas.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah kepada VOA, Kamis (27/7), mengatakan kunjungan tersebut tidak memiliki implikasi apapun, dalam konteks pengakuan Indonesia atas Taliban.
Prinsipnya, beberapa kerja sama terkait pengiriman bantuan kemanusiaan dan peningkatan kapasitas sumber daya di Afghanistan tetap berjalan, sehingga komunikasi dengan Taliban – sebagaimana yang dilakukan banyak negara lain – tetap terbuka. Namun, saat beberapa anggota kelompok Taliban datang ke Indonesia, tidak ada pertemuan resmi dengan wakil pemerintah.
Namun upaya Taliban untuk mempertahankan hubungannya dengan negara-negara Muslim, antara lain dengan melawat ke Indonesia, menunjukkan bahwa sebenarnya kelompok itu tetap ingin melakukan perubahan.
“Mereka (Taliban.red) tampaknya ingin menjelaskan perubahan yang ingin dilakukan dari perspektif atau sudut pandang mereka,” ujar Yon.
Diwawancarai secara terpisah, pengamat hubungan internasional di Universitas Paramadina, Reza Widyarsa, kedatangan Taliban ke Indonesia menunjukkan pentingnya posisi Indonesia di mata Taliban.
“Selain sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia beberapa kali berperan sebagai mediator dalam perundingan antara Taliban dengan negara lain," papar Reza.
Kedua pengamat menilai posisi Indonesia yang tidak mengakui pemerintahan Taliban hingga terpenuhinya tiga poin yang telah berulang kali disampaikan Indonesia sudah tepat. [fw/em]
Forum