Sejak memasuki usia pubertas, perempuan sudah menjadi sasaran utama program KB. Pendidikan reproduksi konvensional yang diberikan di sekolah dan keluarga senantiasa dititikberatkan pada perempuan. Bahkan nasihat yang disampikan petugas Kantor Urusan Agama pada pasangan yang hendak menikah terkait KB, juga difokuskan pada perempuan. Bagaimana perempuan sedianya mengikuti program ini dan memanfaatkan piranti yang ada seperti pil KB, suntik KB hingga IUD (semacam alat kontrasepsi bagi perempuan).
Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, kepada VOA mengakui bahwa hanya lima persen laki-laki yang ikut program KB. Penyebabnya, ujar Hasto, karena secara teknis medis, pilihan untuk kontrasepsi pria hanya kondom dan vasektomi. Sedangkan vasektomi begitu dihindari oleh kaum pria lantaran dua sebab yakni harus menjalani operasi medis dan secara keyakinan kalau disteril ini akan menghentikan keturunan sama sekali.
"Masalah laki-laki soal mindset, di Indonesia ini secara public image yang ada dipemikiran keluarga, KB itu tugasnya perempuan. Ini yang harus selalu diubah. Seolah-olah pola pikirnya KB dan kontrasepsi itu adalah perempuan. Beberapa memang (memiliki) kekhawatiran, itu contoh seperti vasektomi itu hanya 0,4 persen dari peserta akseptor KB. Kenapa begitu? Karena mereka pendapatnya masih salah, kalau di vasektomi vitalitasnya menurun, dan ada istri khawatir kalau suaminya divasektomi. Pola pikir seperti itu yang masih mewarnai pemikiran-pemikiran," tutur mantan Bupati Kulon Progo ini.
Seperti dikutip dari laman resmi BKKBN, partisipasi laki-laki menjadi penting dalam KB dan kesehatan reproduksi karena laki-laki adalah “mitra” dari perempuan dalam reproduksi serta seksual, sehingga laki-laki dan perempuan harus berbagi tanggung jawab. Namun, hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 bahkan menunjukkan data miris bahwa keikutsertaan laki-laki dalam program KB jauh lebih rendah dari pernyataan Kepala BKKBN ketika diwawancarai VOA. Laman resmi itu menunjukkan jumlah laki-laki yang menggunakan alat kontrasepsi berupa kondom hanya sebesar 2,5% dan vasektomi sebesar 0,2%. Upaya untuk meningkatkan partisipasi laki-laki ini terus dilakukan tetapi data menunjukkan tren peningkatan belum mencapai hasil yang diharapkan.
Berdasarkan data rekapitulasi identifikasi ketersediaan dokter pasca pelatihan vasektomi yang dilaporkan oleh perwakilan BKKBN provinsi, dapat diketahui bahwa jumlah tenaga dokter yang telah mendapatkan pelatihan klinis Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) sebanyak 975 dokter. Namun hanya 239 dokter terlatih (24,51%) yang menyatakan bersedia untuk melayani vasektomi dan terdiri dari 206 dokter umum serta 33 dokter spesialis. Dokter yang terlatih dan bersedia melayani vasektomi tersebar di 115 kabupaten/kota di Indonesia namun untuk penyebaran dokter umum hanya terdapat di 98 kabupaten/kota.
Pendidikan Reproduksi Berperspektif Gender Penting
Saat ini BKKBN juga telah mendorong dihadirkannya kurikulum tentang pendidikan reproduksi di sekolah-sekolah. Hal itu dilakukan agar anak yang memasuki masa pubertas mengetahui dampak terkait seks bebas atau pun perkawinan usia dini.
"Ya sudah disampaikan ke Menteri Pendidikan bahwa saya mendorong bagaimana kalau di pendidikan ini kurikulum tentang pendidikan kesehatan reproduksi itu masuk ke sekolah. Ini penting sekali karena banyak orang yang tidak mengerti tentang risiko nikah usia dini. Kanker rahim itu juga ada hubungannya dengan nikah terlalu dini," pungkas Hasto.
Namun kajian “Global Early Adolescent Study (GEAS) dan Youth Voices Research” yang dilakukan di Indonesia antara bulan Juli 2018 dan Juli 2019 menunjukkan pendidikan reproduksi saja tidak cukup. Diperlukan pendidikan reproduksi berperspektif gender untuk mendorong perubahan pola pikir.
GEAS melakukan survei atas 4.684 remaja yang duduk di kelas 7 SMP (usia 12-13 tahun) di tiga lokasi: Semarang (Jawa), Bandar Lampung (Sumatera), dan Denpasar (Bali). Kajian juga dilakukan lewat 24 diskusi kelompok terarah (focus group discussions, FGD) dan 86 wawancara mendalam dengan responden muda berusia 18-24 tahun; 18 diskusi di ruang kelas dan 18 FGD dengan murid sekolah yang berusia 12- 13 tahun; sembilan FGD dengan orang tua; serta sembilan FGD dengan guru.
Hasilnya mencengangkan. Bahwa remaja – khususnya perempuan – mempunyai pengetahuan yang rendah tentang kesehatan seksual dan reproduksi. Perempuan juga memiliki rasa tidak nyaman yang tinggi terhadap perkembangan tubuhnya sendiri. Perempuan mudah cemas dan merasa bersalah terhadap mulai munculnya perasaan seksual. Hal ini tidak ditemukan pada laki-laki. Ini erat kaitannya dengan masih kuatnya pemahaman bahwa membahas masalah seksualitas, dalam keluarga sekali pun, merupakan hal yang tabu.
Namun kajian GEAS – yang merupakan hasil kerjasama banyak institusi, antara lain Rutgers, WPF Indonesia, PKBI, GEAS dan Bill & Melinda Gates Foundation – menunjukkan bahwa baik anak laki-laki maupun perempuan memiliki keinginan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi (terutama anak perempuan) dan untuk menunda menikah sampai paling sedikit usia 21 tahun.
Dua pertiga di antaranya ingin menunda memiliki anak sampai paling sedikit usia 25 tahun, serta tiga perempat ingin memiliki anak dua orang saja atau kurang dari itu. Anak perempuan menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada anak laki-laki dalam hal bersuara, mengambil keputusan, dan “perencanaan”.
Temuan-temuan ini menarik karena tampak jelas bagaimana norma gender ikut mempengaruhi pengambilan keputusan, termasuk dalam hal Keluarga Berencana. [aa/em]