Pada peringatan hari HAM sedunia, 10 Desember 2016, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama para korban menanyakan kepada Presiden Joko Widodo akan janjinya untuk memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Dalam pidatonya di Hari HAM setahun yang lalu, Presiden Jokowi menyatakan isu rekonsiliasi dan menggunakan mekanisme yudisial atau pengadilan sangat penting. Dia juga mengatakan tentang keberanian pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, namun hingga kini belum juga kunjung diselesaikan.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Feri Kusuma, menilai Presiden Jokowi telah kehilangan otoritasnya dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan membiarkan para menterinya seperti Menkopolhukam, Jaksa Agung dan Menteri Pertahanan mengambil tindakan sepihak dengan mempromosikan rekonsialisasi sebagai upaya untuk memutus pertanggungjawaban negara.
Rekonsiliasi pemerintah itu tambahnya tidak menjawab permasalahan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain itu, Presiden Jokowi menunjukan ketidakberdayaan dengan memilih menteri yang diduga terlibat pelanggaran HAM seperti Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto.
Kebijakan politis Presiden Jokowi tersebut lanjutnya merupakan penghinaan pada martabat manusia, dan berdampak serius pada pemenuhan hak-hak korban, serta mempuruk kondisi psikologis para korban.
Selain itu kata Feri, Presiden Jokowi selama ini juga tidak berani mendengar dan menindaklanjuti suara korban yang sudah 470 kali berdiri persis di depan Istana. Presiden juga menolak menindaklanjuti putusan KIP Munir agar pemerintah mengumumkan dokumen hasil penyelidikan TPF Munir.
"Apabila kasus pelanggaran HAM berat tidak diselesaikan, tidak diungkap siapa pelakunya potensi keberulangan peristiwa yang sama sangat besar. Nah disitulah esensi kenapa kita tetap konsisten meminta negara dalam hal ini pemerintah untuk menyelesaikan proses hukum," kata Feri Kusuma.
Menurut Wakil Koordinator Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, setidaknya ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diselesaikan.
Ketujuh kasus pelanggaran HAM tersebut yaitu penghilangan dan penyiksaan orang pada 1965-1966, penembakan misterius pada 1982-1985, peristiwa Talangsari Lampung pada 1989, kerusuhan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Tragedi Trisakti 1998, Tragedi Semanggi dan pembunuhan di Wamena Wasior, Papua.
Yati berharap pemerintah bisa mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut melalui mekanisme yudisial dan non yudisial.
Dalam melakukan rekonsiliasi, kata Yati, seharusnya pemerintah menempuh beberapa tahap yaitu pengungkapan kebenaran, ada proses keadilannya dan ada pemulihan korban terlebih dahulu.
"Pengungkapan kebenaran, diungkap dululah entar mekanismenya melalui KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) entah mekanismenya nanti mau ada keputusan presiden, itu soal lain. Tetapi pengungkapan kebenarannya harus dilakukan dahulu terus keadilannya harus dipenuhi dulu. Korbannya harus dipulihkan dulu, baru setelah itu baru ada pembicaraan soal rekonsiliasi. Nah, selama tahapan-tahapan itu itu tidak lakukan itu akan sulit," ujarnya.
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan, pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan catatan kelam Indonesia. Untuk itu lanjut Pigai, Presiden Jokowi harus menyelesaikan kasus ini karena beban sejarah.
"Harus menyelesaikan masalah pelanggaran secara komprehensif, bermartabat," kata Natalius Pigai.
Pigai menambahkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah menjadi beban bangsa Indonesia sangat penting dan harus dijadikan prioritas. Presiden tambahnya harus memimpin untuk menyelesaikan persoalan ini secara berkeadilan dan bermartabat. [fw/ab]