Beberapa waktu lalu, Presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara, mengajukan keberatan terhadap putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang menyatakan bahwa hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir merupakan informasi publik dan wajib segera diumumkan kepada masyarakat. Dalam keberatan yang diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Kemensetneg meminta PTUN Jakarta membatalkan putusan KIP tersebut dengan alasan Kemensetneg tidak menyimpan dokumen itu.
Wakil Koordinator Bidang Advokasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani kepada VOA, Selasa (29/11) menilai langkah presiden tersebut menunjukkan bahwa Presiden Jokowi memang tidak mau bertanggung jawab untuk mendorong pengungkapan kasus Munir. Ditambahkannya, keengganan presiden tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa kasus kematian Munir ini melibatkan orang-orang terdekat presiden.
"Ada ketidakberanian Presiden yah dalam membuka dokumen tersebut, Kita jadi curiga jangan-jangan dalam dokumen itu ada pihak-pihak atau nama-nama tertentu yang sepatutnya bisa dimintai pertanggungjawaban. Dan jangan-jangan orang-orang tersebut masih ada di sekitar presiden, istana sehingga intervensi-intervensi itu sangat mungkin dilakukan, dan presiden menjadi tidak berani membuka dokumen tersebut," kata Yati.
Yati menambahkan ketidakseriusan presiden Jokowi dalam mengungkap kasus kematian Munir akan menjadi sorotan internasional, karena Munir adalah ikon gerakan HAM di Indonesia. Harus diakui lanjutnya perbaikan situasi HAM di Indonesia tidak lepas dari kontribusi Munir.
"Sudah mendunia, artinya ini mendapat perhatian dari dunia internasional dan penting bagi mereka juga sejauh mana pemerintah Indonesia sudah bergerak maju penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM termasuk kasus Munir," imbuhnya.
Sebelumnya Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Alexander Lay, mengatakan dokumen TPF kasus Munir telah diterima oleh mantan presiden SBY tahun 2005, namun diakuinya bahwa Kementerian Sekretariat Negara tidak memiliki hasil dokumen investigasi kasus Munir tersebut.
"Bahwa memang Sekretariat Negara pada tahun 2005 tidak pernah menerima laporan TPF dan itu dibuktikan oleh Sekretariat Negara dengan menghadirkan daftar surat masuk tahun 2005 dan memang tidak ada dokumen yang namanya TPF. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mensesneg sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra, bahwa beliau memang tidak menerima salinan TPF tersebut," ujar Alexander.
Majelis Komisioner KIP pada 10 Oktober 2016 telah memutuskan dan menyatakan bahwa Dokumen Hasil Penyelidikan TPF Munir merupakan informasi publik. Oleh karena itu pemerintah wajib segera mengumumkan dokumen tersebut kepada masyarakat.
Namun, Pemerintah tidak segera mengumumkan dokumen itudengan alasan pihak Istana tidak menyimpannya. Mereka beralasan dokumen tersebut disimpan oleh mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ironisnya setelah Presiden SBY menyerahkan salinan dokumen hasil penyelidikan TPF Munir Kemensetneg itu, presiden justru mengajukan banding atas putusan KIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara. [fw/em]