Majelis Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 1948 menetapkan 10 Desember sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Saat itu PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR). Seluruh negara memperingati hari penting tersebut, termasuk Indonesia. Meskipun peringatan dilakukan setiap tahun, kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan penegak hukum dinilai masih jauh panggang dari api.
Peneliti di Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS), Ita Fatia Nadia, dalam diskusi di Jakarta, Jumat (8/12) menekankan setelah reformasi, negara mestinya mengusut dan mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang menurutnya tidak pernah dilakukan.
"Ketika negara tidak memenuhi kewajibannya, negara telah melakukan impunitas. Impunitas adalah kegagalan negara melakukan penuntutan kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang dianggap sebagai pelaku kejahatn serius menurut hukum internasional dan itu tidak pernah dilakukan," ujarnya.
12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Tak Kunjung Selesai
Negara yang menutupi fakta sejarah kejahatan kemanusiaan dan menghindari kewajiban untuk melindungi warga negaranya, tidak saja merendahkan adab politik Indonesia, tetapi juga menunjukkan kegagalan negara. Sepanjang masa pemerintahan Joko Widodo, 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, gagal diwujudkan.
Ita merujuk pada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak kunjung diselesaikan, salah satu di antaranya adalah peristiwa G30S/PKI yang membuat lebih dari dua juta orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) diburu, ditangkap secara sewenang-wenang, ditahan tanpa proses hukum, disiksa, diperkosa, dihilangkan paksa, dikenai keharusan wajib lapor hingga dibunuh.
Juga kejahatan “penembak misterius” antara 1982-1985 yang korbannya diperkirakan mencapai lebih dari 10.000 orang. Selain itu ada Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Kerusuhan Mei 1998, penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, penembakan di Trisakti 1998, dan Semanggi I 1998 dan Semanggi II 1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, dan Peristiwa Simpang KKA-Aceh 1999, Peristiwa Wasior-Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena-Papua 2003 dan Peristiwa Jambu Keupok di Aceh 2003.
Ita Fatia Nadia secara khusus juga menyayangkan sikap pemerintahan Jokowi yang tidak mengkategorikan pembunuhan aktivis HAM Munir sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal pembunuhan Munir merupakan pembungkaman, sekaligus alat teror, agar tidak ada lagi pihak-pihak berani bersuara tentang penyalahgunaan kewenangan oleh negara, tambahnya.
Negara, seru Ita, harus memberikan klarifikasi sejarah atau menulis kembali sejarah tentang pelanggaran HAM berat masa lalu untuk menjadi pengetahuan masyarakat dan membangun kesadaran bersama.
Istri Munir Kecewa
Istri mendiang Munir, Suciwati, mengaku sangat kecewa karena hingga kini penanganan kasus pembunuhan suaminya tidak tuntas terungkap. Ia juga mengkritisi negara yang menurutnya “hanya menyasar para pembela HAM.”
Dia mencontohkan dua aktivis HAM- Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang kemaritiman dan investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Dia juga menyayangkan langkah negara menyasar para pembela HAM, yang kemudian dikriminalisasi dengan menggunakan Undang-undang ITE.
"Hari ini kita melihat banyak orang-orang yang diambil karena Undang-undang ITE. Itu hal yang membahayakan. Kalau dulu kita meminta ada undang-undang yang dihilangkan, subversif dan sebagainya. Tapi kemudian muncull ah ITE. Kemudian mereka memakai buzzer untuk menyerang teman-teman pembela HAM," tutur Suciwati.
Amnesty International Indonesia Soroti Akuntabilitas Aparat Keamanan
Sementara Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menyoroti akuntabilitas aparat keamanan yang ikut memperlemah upaya penegakan hukum di Indonesia. Ini mencakup penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan dalam menghadapi masyarakat adat sebagaimana yang terjadi di Pulau Rempang baru-baru ini. Saat itu aparat menggunakan kekuatan yang berlebihan dengan menembakkan meriam air dan gas air mata ke arah masyarakat yang menolak proyek Eco City di Rempang. Puluhan siswa sekolah sempat dilarikan ke rumah sakit karena insiden ini, yang kemudian bergulir menjadi kerusuhan.
Amnesty International Indonesia juga mencatat penggunaan gas air mata serupa di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Oktober 2022 yang menewaskan 35 orang dan mencederai 433 orang lainnya.
Penggunaan aparat keamanan berlebihan di Papua bahkan sudah lama menjadi sorotan organisasi HAM di dalam dan luar negeri, tambah Wirya.
Telah banyak organisasi HAM di Indonesia maupun internasional yang sejak lama menyuarakan keprihatinan terhadap satu bentuk pelanggaran HAM, yaitu pembunuhan di luar hukum, dan pelanggaran HAM serius lainnya oleh aparat keamanan di Papua. Subyek ini juga seringkali menjadi topik diskusi dalam peninjauan kondisi HAM Indonesia yang dilakukan badan-badan HAM PBB. Masih banyak pelanggaran HAM oleh aparat keamanan di Papua, masih banyak pembunuhan di luar hukum dilakukan aparat keamanan di Papua.
Amnesty International Indonesia juga menyoroti kebebasan sipil di Indonesia yang terus menurun, di mana terdapat 427 kasus dengan lebih dari 1.000 korban.
Menkopolhukam Pastikan Keseriusan Pemerintah
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan penyelesaian kasus HAM berat terus berjalan. Mahfud mengatakan, pemerintah menanganinya secara serius.
Pemerintah memilih menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial. Seluruh korban dari 12 pelanggaran HAM berat itu, misalnya, dipastikan mendapatkan pemulihan dari negara atau kompensasi seperti pengobatan gratis, pemberian Kartu Indonesia Sehat (KIS), beasiswa dan dukungan dana wirausaha.
Pemerintah, tambah Mahfud, sangat menghormati dan menjunjung HAM. [fw/em]
Forum