Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menyatakan telah memiliki kapasitas dan kemampuan dalam mendeteksi COVID-19 dalam sampel klinis dari pasien terduga virus mematikan ini. Karena itu, lembaga di bawah naungan Kementerian Riset dan Teknologi ini siap berkolaborasi dengan kementerian dan lembaga lain yang berwenang dalam mendeteksi COVID-19.
Di samping itu, peneliti senior Eijkman David H Muljono mengatakan hasil pemeriksaan positif dan negatif pasien terduga virus perlu dibandingkan dengan laboratorium yang berbeda untuk menunjukkan keabsahan deteksi.
Eijkman siap menjadi laboratorium pembanding dari laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan yang saat ini diberi kewenangan dalam mendeteksi virus. Hasil pemeriksaan Balitbangkes Kemenkes sejauh ini menunjukkan Indonesia terbebas dari virus yang pertama kali mewabah bulan lalu di Wuhan, China.
"Penting sekali adalah kemitraan antara pengambil kebijaksanaan dan lembaga penelitian untuk bekerjasama memanfaatkan kapasitas lembaga penelitian yang ada di Indonesia. Dan mendapatkan dan menggunakan sistem deteksi virus baik COVID-19 sehingga dapat dilakukan deteksi kasus dengan tepat dan cepat," jelas David H Muljono dalam seminar di Auditorium Sitoplasma, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta Pusat, Rabu (12/2).
David menambahkan deteksi yang tepat juga dapat mengurangi risiko dampak virus mematikan ini. Sejumlah pengalaman Eijkman antara lain identifikasi dan kajian virus flu burung (2005), virus west nile (2012), virus zika (2015), dan deteksi virus korona di Tomohon, Sulawesi Utara.
Ketua Asosiasi Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia, Ahmad Arif, mengatakan kolaborasi antar lembaga penting meyakinkan publik Indonesia agar tidak panik menghadapi ancaman COVID-19. Apalagi, kata dia, sejumlah lembaga internasional menyangsikan kemampuan Indonesia dalam mendeteksi virus tersebut.
Di samping itu, ia juga mendesak pemerintah untuk terbuka atas semua informasi tentang virus ini supaya masyarakat tidak mencari informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya, kegagalan komunikasi pemerintah dapat menimbulkan dampak sosial dan ekonomi seperti terjadi dalam sejumlah bencana di Indonesia, misalnya penjarahan di beberapa wilayah yang terkena tsunami Aceh dan Nias pada beberapa tahun lalu.
"Tsunami Palu juga sama kemarin, bantuan tidak bisa berjalan. Karena kita tidak siap sebenarnya, jadi dampak sosial ekonomi itu bisa lebih mengerikan dari bencana itu sendiri. Ini bisa juga terjadi pada coronavirus," jelas Arif.
Sementara itu, peneliti senior pada Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor, Joko Pamungkas, mengatakan perlu ada surveilans (pemantauan, pengumpulan dan analisis data) tentang virus korona pada hewan reservoir untuk mengantisipasi penyakit yang baru di Indonesia. Apalagi, jika melihat surveilans dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihaknya sejak 2011-2014 yang menemukan ada 14 jenis virus baru.
"Kita harus melakukan surveilans pada satwa liar. Ini adalah investasi, kalau sampai terjadi pada manusia dan ternak maka kerugiannya akan besar sekali," jelas Joko Pamungkas.
Joko berharap surveilans ini dapat dilakukan pemerintah dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian dan sektor-sektor terkait lainnya.
VOA sudah berusaha menghubungi Balitbang Kemenkes terkait tawaran kerja sama dengan Eijkman dalam mendeteksi COVID-19 di Indonesia. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan dari Kemenkes.
Hingga Selasa (11/2) jumlah korban tewas akibat virus asal Wuhan ini di China daratan sudah mencapai lebih dari 1.300 orang. Sejumlah negara anggota ASEAN seperti Singapura, Filipina dan Malaysia sudah melaporkan adanya kasus virus korona jenis baru ini. Kementerian Kesehatan hingga saat ini menyatakan belum ada kasus COVID-19 di Indonesia. [sm/ka]