YOGYAKARTA —
Sebanyak 35 pemuda dari berbagai daerah di Indonesia telah berpartisipasi dalam kegiatan Heritage Camp, tentang upaya melestarikan warisan budaya oleh generasi muda secara kreatif, diselenggarakan oleh Lontara Project dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada, yang bermitra dengan AFS Bina Antar Budaya dan disponsori oleh United States Council.
Kegiatan Heritage Camp berlangsung di Pondok Pemuda Ambarbinangun Yogyakarta selama empat hari, berakhir Senin malam (25/2), bertujuan memperkenalkan kembali beragam warisan budaya di Indonesia dan upaya bagaimana melestarikannya dengan cara kreatif dan kekinian sesuai dengan pola pikir anak muda.
Project Manager Heritage Camp Anggita Paramesti mengatakan, para peserta mengikuti sesi dengan narasumber para praktisi pelestarian dan pengembangan budaya diantaranya sutradara Garin Nugroho, Komikus Is Yuniarto, musisi Djaduk Ferianto dan pendiri Yogya Heritage Society Laretna Adhisakti.
Anggita menegaskan, tujuan Heritage Camp yang baru pertama diselenggarakan adalah mencari cara pelestarian budaya yang kreatif oleh generasi muda.
“Kuncinya di kata konservasi kreatif, begitu. Itu karena selama ini ya banyak yang ingin konservasi tetapi caranya yang salah. Makanya kita ingin tahu cara konservasi yang kreatif itu seperti apa yang bermanfaat bagi orang banyak, yang bisa lebih dan memperkenalkan kembali budaya yang kita miliki,” ujar Anggita.
Salah satu narasumber, komikus asal Surabaya Is Yuniarto mengajak peserta mengembangkan kreativitas agar budaya yang dianggap kuno oleh anak muda bisa menjadi produk yang menarik dan sesuai dengan kondisi masa kini. Yuniarto sendiri telah membuat serial komik Garudayana yang bersumber pada wayang klasik dengan tampilan yang modern.
“Membuat karakter wayang yang tidak disukai anak-anak zaman sekarang, dimana mereka mungkin menganggap wayang sebagai sesuatu yang kuno, bagaimana mengembangkan kreatifitas, bagaimana mengembangkan sesuatu yang diangkat dari kebudayaan bisa menjadi budaya populer yang sesuai dengan kekinian,” ujarnya.
Peserta dari Nusa Tenggara Timur , Osvaldo Jimkelly Lameng yang sedang studi di Institut Seni Indonesia (ISI Yogyakarta) merasa didorong semakin mencintai segala aspek budaya daerahnya.
Dengan mengikuti Heritage Camp bersama pemuda dari berbagai daerah di Indonesia ia terinspirasi untuk memproduksi film dokumenter mengenai budaya NTT yang kini semakin diminati banyak orang menyusul makin populernya pulau Komodo, sekaligus untuk tugas akhir studinya di ISI.
“Terpilihnya komodo sebagai salah satu keajaiban dunia, nah dari situ banyak orang mencari tahu tentang budaya NTT. Karena itu saya ingin mempelajari lebih apa yang dipunyai oleh NTT sendiri,” ujar Osvaldo.
Sementara itu, peserta dari Maros, Sulawesi Selatan, Nur Azmah Musa menjadi semakin bersemangat melakukan penelitian naskah kuno Bugis La Galigo. Di forum Heritage Camp, Nur Azmah bertemu dengan narasumber ahli naskah kuno yang mendorong untuk melengkapi penelitian nya mengenai La Galigo. Di forum tersebut ia belajar banyak tentang budaya daerah lain di Indonesia dari para peserta.
”Yang ada di sini memiliki latar belakang budaya masing-masing (daerah). Dengan adanya ini kami bukan hanya mempelajari budaya lain daerah tapi juga solusi bagaimana melestarikan budaya yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Para peserta juga melakukan studi lapangan dan menyusun rencana aksi mengenai upaya pelestarian budaya di wilayah masing-masing.
Kegiatan Heritage Camp berlangsung di Pondok Pemuda Ambarbinangun Yogyakarta selama empat hari, berakhir Senin malam (25/2), bertujuan memperkenalkan kembali beragam warisan budaya di Indonesia dan upaya bagaimana melestarikannya dengan cara kreatif dan kekinian sesuai dengan pola pikir anak muda.
Project Manager Heritage Camp Anggita Paramesti mengatakan, para peserta mengikuti sesi dengan narasumber para praktisi pelestarian dan pengembangan budaya diantaranya sutradara Garin Nugroho, Komikus Is Yuniarto, musisi Djaduk Ferianto dan pendiri Yogya Heritage Society Laretna Adhisakti.
Anggita menegaskan, tujuan Heritage Camp yang baru pertama diselenggarakan adalah mencari cara pelestarian budaya yang kreatif oleh generasi muda.
“Kuncinya di kata konservasi kreatif, begitu. Itu karena selama ini ya banyak yang ingin konservasi tetapi caranya yang salah. Makanya kita ingin tahu cara konservasi yang kreatif itu seperti apa yang bermanfaat bagi orang banyak, yang bisa lebih dan memperkenalkan kembali budaya yang kita miliki,” ujar Anggita.
Salah satu narasumber, komikus asal Surabaya Is Yuniarto mengajak peserta mengembangkan kreativitas agar budaya yang dianggap kuno oleh anak muda bisa menjadi produk yang menarik dan sesuai dengan kondisi masa kini. Yuniarto sendiri telah membuat serial komik Garudayana yang bersumber pada wayang klasik dengan tampilan yang modern.
“Membuat karakter wayang yang tidak disukai anak-anak zaman sekarang, dimana mereka mungkin menganggap wayang sebagai sesuatu yang kuno, bagaimana mengembangkan kreatifitas, bagaimana mengembangkan sesuatu yang diangkat dari kebudayaan bisa menjadi budaya populer yang sesuai dengan kekinian,” ujarnya.
Peserta dari Nusa Tenggara Timur , Osvaldo Jimkelly Lameng yang sedang studi di Institut Seni Indonesia (ISI Yogyakarta) merasa didorong semakin mencintai segala aspek budaya daerahnya.
Dengan mengikuti Heritage Camp bersama pemuda dari berbagai daerah di Indonesia ia terinspirasi untuk memproduksi film dokumenter mengenai budaya NTT yang kini semakin diminati banyak orang menyusul makin populernya pulau Komodo, sekaligus untuk tugas akhir studinya di ISI.
“Terpilihnya komodo sebagai salah satu keajaiban dunia, nah dari situ banyak orang mencari tahu tentang budaya NTT. Karena itu saya ingin mempelajari lebih apa yang dipunyai oleh NTT sendiri,” ujar Osvaldo.
Sementara itu, peserta dari Maros, Sulawesi Selatan, Nur Azmah Musa menjadi semakin bersemangat melakukan penelitian naskah kuno Bugis La Galigo. Di forum Heritage Camp, Nur Azmah bertemu dengan narasumber ahli naskah kuno yang mendorong untuk melengkapi penelitian nya mengenai La Galigo. Di forum tersebut ia belajar banyak tentang budaya daerah lain di Indonesia dari para peserta.
”Yang ada di sini memiliki latar belakang budaya masing-masing (daerah). Dengan adanya ini kami bukan hanya mempelajari budaya lain daerah tapi juga solusi bagaimana melestarikan budaya yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Para peserta juga melakukan studi lapangan dan menyusun rencana aksi mengenai upaya pelestarian budaya di wilayah masing-masing.