Afghanistan memiliki lanskap media berita dan hiburan yang berkembang pesat sebelum Taliban mengambil alih negara itu. Kini menjelang enam bulan pemerintahan Taliban, wartawan VOA Ayesha Tanzeem mengamati bagaimana kancah media di negara itu telah berubah.
Saluran-saluran hiburan di Afghanistan yang ada di bawah rezim sebelumnya, sekarang tidak seperti sebelumnya. Taliban meminta mereka untuk mengubah tayangannya.
Hadi Sahar adalah produser senior di saluran TV Afghanistan bernama 1TV . "Pejabat UEA meminta kami untuk tidak menayangkan semua serial yang disiarkan 1TV".
Ketika ditanya mengenai penggantinya ia mengatakan,“Saat ini diganti dengan serial dari Iran."
Ia menjelaskan serial Iran lebih bisa diterima. “Karena mereka mengatakan program itu bersifat Islami dan mengenakan jilbab, menurut pejabat Taliban atau Imarah Islam orang-orang menyukai serial semacam ini.”
Acara musik live yang populer di TV, sekarang tidak ditayangkan. Dalam enam bulan terakhir, produksi internal hiburan di sebagian besar saluran televisi terhenti.
Ruangan yang dulunya pusat produksi program hiburan 1TV, sekarang semuanya sudah tidak beroperasi. Sekarang para perempuan yang bekerja di pusat produksi ini berupaya mencari cara untuk membuat program Islami yang memenuhi persyaratan Taliban.
Terkait berita, banyak wartawan mengatakan sensor diri sudah menjadi norma di bawah rezim baru Taliban. Mereka tidak akan berani mengecam pemerintah atau kinerjanya seperti yang dilakukan pada rezim sebelumnya. Tidak ada yang ingin melakukannya karena takut.
Wartawan perempuan menghadapi serangkaian masalahnya sendiri. Fakhria Radfar, wartawan Tolonews mengatakan, "Sebelumnya kami diizinkan bebas ke mana saja untuk meliput. Tapi sekarang tidak lagi. Beberapa kementerian dan kantor misalnya, tidak mengizinkan perempuan masuk."
Taliban juga meminta pembawa berita perempuan di saluran berita untuk mengubah penampilannya.
Sana Amiri, pembawa berita di 1TV mengatakan, “Setelah kedatangan Taliban, jurnalis perempuan harus menutupi rambut. Sebelumnya, kami menutupi kepala kami, tetapi tidak terlalu ketat. Sekarang, kami harus mengganti pakaian kami sepenuhnya karena mereka ada di pemerintahan.”
Namun, Taliban tampaknya memberi orang waktu untuk menyesuaikan diri. Beberapa saluran radio dan TV Afghanistan masih menayangkan musik, meskipun jauh lebih sedikit dari sebelumnya. Beberapa program hiburan asing yang menampilkan perempuan tanpa jilbab terus mengudara.
Masalah yang dialami media, termasuk larinya modal dan bakat dari negara tersebut. Ketika Taliban mengambil alih, sebagian besar penghibur dan jurnalis terkenal pergi. Pendanaan asing dan pendapatan iklan mengering.
Saluran-saluran televisi sekarang berjuang untuk bertahan hidup dengan dana yang jauh lebih sedikit dan larangan yang jauh lebih banyak. Menurut survei Federasi Jurnalis Internasional, lebih dari 300 kantor media Afghanistan telah ditutup karena masalah keuangan dan pembatasan Taliban. Ribuan pekerja profesional media kehilangan pekerjaan, 70 persen di antaranya perempuan. [my/jm]