Ketika 14 militan Negera Islam (ISIS) menyerbu rumahnya, Mohammed yang berusia usia 22 tahun itu bersembunyi. Ayah dan saudara laki-lakinya, keduanya polisi pemerintah Irak, sudah dibunuh.
“Mereka bertanya kepada ibu saya, di mana Mohammed?" kata Mohammed satu setengah tahun kemudian di Eropa. Ibunya menjawab Mohammed sedang di tempat olahraga.
Dengan mengumpulkan uang sebisanya, Mohammed lari dari Mosul, menyamar sebagai pejuang ISIS dan menyetel pembacaan Quran di radio mobil keras-keras supaya meyakinkan.
Kecemasannya tampak jelas di lapangan kota; Mohammed meminta agar lokasi atau nama lengkapnya tidak disebut. Keluarganya masih di Irak dan berisiko akan dibunuh jika ia menentang kelompok ISIS. Mereka punya katalog cara membunuh yang paling keji, kata Mohammed, yaitu “dipenggal, dibakar, ditenggelamkan."
Militan ISIS melarang semua kontak dengan dunia luar tapi orang-orang diam-diam menggunakan internet untuk berhubungan dengan orang-orang terkasih di luar Mosul.
Selain peraturan keras kelompok ekstremis, katanya, kualitas kehidupan di Mosul menurun drastis. Orang-orang kelaparan dan mendapat jatah air atau listrik tidak lebih dari tiga jam sehari.
Bom-bom koalisi pimpinan Amerika terus menghantam Mosul dan keluarganya mengatakan meskipun bom-bom itu ditujukan kepada militan ISIS tapi mengenai sasaran warga sipil.
Ketika wartawan berbicara dengannya ia mendapat pesan dari keluarganya yang mengatakan universitas di kota itu dihantam bom dan ratusan orang diyakini tewas termasuk pekerja kafetaria dan mahasiswa.
Departemen Pertahanan Amerika sebelumnya mengukuhkan jumlah kematian warga sipil terbatas di bawah 20 tapi beberapa kelompok aktivis termasuk kelompok AirWars memperkirakan jumlahnya bisa mendekati 2.000. [my]