Hilangnya dan diduga dibunuhnya kolumnis harian Washington Post, Jamal Khashoggi di dalam gedung konsulat Arab Saudi di Istanbul telah memperkuat pembahasan mengenai kebebasan pers dan keselamatan wartawan di seluruh dunia. Kontributor VOA, Greta Van Susteren membahas topik ini dengan wartawan maupun deputi direktur eksekutif Komite Perlindungan Wartawan.
Hilangnya dan kemungkinan dibunuhnya seorang wartawan Saudi bulan ini, telah memicu kemarahan global dan tuntutan bagi pengungkapannya.
Kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, terakhir kali terlihat dua pekan silam memasuki konsulat Arab Saudi di Turki. Ia tidak pernah terlihat meninggalkan gedung misi diplomatik tersebut.
Jason Rezaian, kolega Khashoggi, dipenjarakan di Iran selama 544 hari sebelum dibebaskan pada tahun 2016. Rezaian mengatakan meningkatnya penargetan terhadap wartawan mencerminkan saat-saat berbahaya bagi pers.
Rezaian, yang juga kolumnis Washington Post mengemukakan, “Semakin banyak kita melihat wartawan yang ditangkap, diusik, dibunuh – dan kerap kali ini terjadi di negara-negara sekutu Amerika Serikat atau negara-negara demokrasi, bukan? Dan ini bukan isu yang banyak kita hadapi pada masa lalu. Kasus ini semakin banyak dan ini merupakan momen di mana Amerika Serikat perlu mengambil sikap dalam hal ini dan perlu tampil bersuara lantang menyatakan ‘kami tidak mendukung ini, kami mendukung kebebasan pers dan perlindungan terhadap pers.’ Dan saya tidak melihat hal ini terjadi.”
Menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), jumlah wartawan yang dipenjarakan karena tugas mereka mencapai rekor tertinggi dalam tahun 2017. Turki, China dan Mesir adalah pelaku terbanyak.
CPJ juga melaporkan bahwa sepanjang tahun ini, 44 wartawan di seluruh dunia telah dibunuh karena pekerjaan mereka. Negara-negara yang sedang berperang, meskipun berbahaya bagi wartawan, bukansatu-satunya ancaman terhadap kebebasan pers, kata Kepala Biro VOA di Islamabad Ayesha Tanzeem.
"Khusus di Pakistan dan Afghanistan, penculikan merupakan ancaman terbesar. Dan orang tidak diculik oleh ISIS atau Taliban, orang diculik oleh para penjahat karena mereka melihat korban sebagai kantong uang, diculik untuk tebusan, dan kemudian apabila mereka tidak mendapatkan tebusan dengan sangat cepat, mereka akan menjual korban ke Taliban, yang kemudian akan meminta tebusan atau kemudian merundingkannya untuk menukarnya dengan tahanan,” kata Tanzeem.
Dengan permusuhan dan kekerasan terhadap media berita yang meningkat, para pakar menyatakan masalah akuntabilitas juga harus diperhatikan.
"Apakah meledakkan mobil wartawan di Malta atau sekarang, seperti yang kami duga, memancing seorang wartawan Saudi ke dalam bangunan misi diplomatik dan membantainya. Jadi itu sebabnya kita memerlukan investigasi internasional yang transparan terhadap kasus Jamal Khashoggi, misalnya, agar pihak berwenang tidak dapat dibiarkan lolos dan membuat contoh buruk bahwa nyawa wartawan begitu murahnya,” kata Rob Mahoney dari Komite Perlindungan Jurnalis.
Menurut Freedom House, kelompok pengamat independen, kebebasan pers global telah menurun ke titik terendah dalam kurun 10 tahun lebih. Hanya 13 persen populasi dunia yang menikmati pers yang benar-benar bebas. [uh/lt]