SAN FRANCISCO —
Kandidat potensial pemilihan presiden AS 2016, Hillary Clinton, memulai serangkaian pidato pada Senin (12/8) dengan menyerukan perlawanan terhadap apa yang ia sebut “serangan atas hak-hak memilih.”
Kepada sekitar 1.000 anggota Asosiasi Pengacara Amerika, ia menyerang aturan Mahkamah Agung baru-baru ini yang disebutnya cacat karena terkait diskriminasi ras di tempat-tempat pemilihan suara.
Ia menyerukan reformasi elektoral dan menurutnya, serangan terhadap hak-hak memilih itu mengancam menghalangi jutaan warga Amerika dari partisipasi penuh dalam demokrasi, dan menggerogoti kepercayaan publik.
Ia mendesak para pembuat undang-undang untuk mengesahkan aturan yang melawan keputusan Mahkamah Agung yang menghapuskan kewajiban 15 negara bagian mendapat persetujuan dari Departemen Kehakiman sebelum mengubah sistem-sistem pemilihan umum.
Keputusan tersebut dikritik oleh kelompok-kelompok hak-hak sipil yang mengatakan hal itu akan meremehkan hak-hak pemungutan suara dalam pemilihan-pemilihan umum yang akan datang, terutama di wilayah Selatan.
Ia mengatakan bahwa beberapa pengamat membela keputusan MA tersebut sebagai tanda bahwa diskriminasi telah berakhir. Namun ia tidak sepakat dan mengatakan hal itu memberikan peluang untuk memperbarui diskriminasi di tempat-tempat pemungutan suara.
“Pada minggu-minggu sejak keputusan tersebut dikeluarkan, kita melihat ketergesaan dalam mempersulit warga Amerika untuk memberikan suara,”ujarnya. “Kecuali kita bertindak sekarang, warga negara akan dikorbankan oleh undang-undang, bukannya dilayani.”
Ia mengatakan ada lebih dari 80 rancangan undang-undang yang diperkenalkan di 31 negara bagian tahun ini untuk membatasi hak memilih, meski tidak semuanya memiliki motivasi rasial, ujarnya. (AP/Paul Elias)
Kepada sekitar 1.000 anggota Asosiasi Pengacara Amerika, ia menyerang aturan Mahkamah Agung baru-baru ini yang disebutnya cacat karena terkait diskriminasi ras di tempat-tempat pemilihan suara.
Ia menyerukan reformasi elektoral dan menurutnya, serangan terhadap hak-hak memilih itu mengancam menghalangi jutaan warga Amerika dari partisipasi penuh dalam demokrasi, dan menggerogoti kepercayaan publik.
Ia mendesak para pembuat undang-undang untuk mengesahkan aturan yang melawan keputusan Mahkamah Agung yang menghapuskan kewajiban 15 negara bagian mendapat persetujuan dari Departemen Kehakiman sebelum mengubah sistem-sistem pemilihan umum.
Keputusan tersebut dikritik oleh kelompok-kelompok hak-hak sipil yang mengatakan hal itu akan meremehkan hak-hak pemungutan suara dalam pemilihan-pemilihan umum yang akan datang, terutama di wilayah Selatan.
Ia mengatakan bahwa beberapa pengamat membela keputusan MA tersebut sebagai tanda bahwa diskriminasi telah berakhir. Namun ia tidak sepakat dan mengatakan hal itu memberikan peluang untuk memperbarui diskriminasi di tempat-tempat pemungutan suara.
“Pada minggu-minggu sejak keputusan tersebut dikeluarkan, kita melihat ketergesaan dalam mempersulit warga Amerika untuk memberikan suara,”ujarnya. “Kecuali kita bertindak sekarang, warga negara akan dikorbankan oleh undang-undang, bukannya dilayani.”
Ia mengatakan ada lebih dari 80 rancangan undang-undang yang diperkenalkan di 31 negara bagian tahun ini untuk membatasi hak memilih, meski tidak semuanya memiliki motivasi rasial, ujarnya. (AP/Paul Elias)