Human Rights Watch menyerukan tindakan segera untuk menghentikan pelecehan seksual yang meluas di Korea Utara.
Dalam suatu laporan 86 halaman yang dirilis hari Kamis (1/11), organisasi HAM Human Rights Watch menyatakan penelitiannya selama tiga tahun mengenai pelanggaran seksual mendapati bahwa pelecehan terhadap perempuan begitu umum terjadi, sehingga “ini telah diterima sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari,” di Korea Utara.
Laporan Human Rights Watch itu menyusul laporan mengenai HAM di Korea Utara pada Juli 2018 yang diterbitkan Korean Institute for National Unification. Menurut laporan itu, “perempuan dengan mudah terpapar kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi berbasis gender dan kekerasan di tengah masyarakat, dan kondisi-kondisi sosial di mana perempuan dapat dilindungi dari kekerasan semacam itu atau mencari pertolongan ternyata kurang.”
Dalam laporan itu, Human Rights Watch menyatakan, pemerintah Korea Utara gagal menyelidiki atau memproses hukum pengaduan, atau memberi perlindungan dan pelayanan bagi para korban, dan bahkan menekankan bahwa negara itu secara luar biasa bebas dari seksisme atau kekerasan.”
Kenneth Roth, direktur eksekutif Human Rights Watch mengemukakan, kekerasan seksual di Korea Utara merupakan rahasia umum, belum terselesaikan dan ditoleransi secara luas.
Perempuan Korea Utara mungkin akan mengatakan Me Too atau saya juga apabila mereka pikir ada cara untuk meraih keadilan, tetapi suara mereka dibungkam di bawah kediktatoran Kim Jong-un, lanjut Roth.
Kenneth Roth menambahkan, “Banyak warga Korea Utara memberitahu Human Rights Watch bahwa sewaktu seorang petugas atau seseorang yang memiliki kekuasaan memilih seorang perempuan, perempuan itu tidak punya pilihan selain patuh. Ia harus melakukan apa saja yang diminta lelaki itu, baik itu berupa seks, uang, atau keinginan lainnya. Perempuan yang diwawancarai menyatakan bahwa para predator seksual itu mencakup para petinggi partai, juga sipir dan penjaga fasilitas tahanan, serta interogator, polisi, polisi rahasia, jaksa, dan bahkan tentara.”
Para peneliti Human Rights Watch mewawancarai 54 warga Korea Utara dalam menyusun laporan ini. Roth menyebutnya sebagai kajian paling ekstensif yang pernah dilakukan mengenai kekerasan seksual di Korea Utara.
Riset ini sulit dilakukan, seperti halnya semua riset mengenai Korea Utara, karena tidak ada akses fisik ke negara itu, jelas Roth. Ia menambahkan bahwa sebagaimana riset dan laporan lainnya, laporan Human Rights Watch mengandalkan wawancara dengan orang-orang yang telah melarikan diri dari negara itu.
Seorang partisipan dalam penelitian itu, Oh Jung Hee, memberitahu para peneliti bahwa ia mengalami serangan seksual berulang kali. Oh mengatakan, satpam pasar tempatnya bekerja, serta polisi, menganggap perempuan yang menjadi pedagang di sana itu sebagai “mainan seks.”
Ia menambahkan, kekerasan seksual terhadap perempuan sangat umum terjadi, sehingga kaum lelaki tidak menganggapnya sebagai hal yang salah dan perempuan dikondisikan untuk menerimanya sebagai hal yang normal dan rutin.
Human Rights Watch meminta Korea Utara agar mengambil langkah-langkah serius untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Roth menegaskan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dapat mengakhiri masalah itu “besok”. Langkah itu tidak akan mempengaruhi cengkeraman kekuasaan Kim tetapi ia akan membuat perbedaan sangat besar bagi kehidupan perempuan Korea Utara, jelas Roth
Roth juga mendesak pemerintah Korea Utara agar mengakui adanya masalah tersebut dan memastikan agar polisi dan jaksa di pengadilan menganggap kekerasan seksual sebagai kejahatan serius, bukannya menutup-nutupi masalah tersebut.
Ia juga mengatakan Korea Utara juga harus menerima bantuan internasional mengenai cara menuntut pertanggungjawaban pejabat yang melakukan pelanggaran dan cara melindungi para korban yang takut untuk mengadukan pelanggaran tersebut. [uh]