Direktur Eksekutif Human Rights Working Group, Muhammad Hafiz mengatakan, pembakaran dan perusakan rumah ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara, adalah simbol lemahnya aparat setempat dalam memfasilitasi kehidupan keagamaan.
Hafiz mengatakan, seharusnya ketika terjadi gesekan kecil di masyarakat akibat pengeras suara rumah ibadah, aparat paling bawah harus langsung bertindak untuk mempertemukan warga yang berselisih sehingga ketegangan tidak berkembang menjadi kekerasan fisik.
Ia menambahkan, keseimbangan di antara pemeluk agama harus menjadi acuan, jangan sampai hak orang untuk beribadah terlanggar, tapi di sisi yang lain kenyamanan kehidupan bermasyarakat harus dijaga.
Aparat penegak hukum, lanjutnya, harus bertidak tegas terhadap pelaku dan provokator serta mencegah terjadinya kekerasan barubaik di sekitar lokasi atau daerah lain.
Dia juga menyayangkan tidak efektifnya kinerja Forum Kerukunan Umat Beragama yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemerintah daerah yang ada di setiap daerah.
"Selama ini FKUB, badan-badan atau forum-forum yang ada di daerah sama sekali tidak efektif untuk menekan maupun mengkomunikasikan antara kelompok masyarakat. Kelompok yang notabene minoritas potensi korbannya besar. Ini yang tidak dilakukan FKUB.. ini yang seharusnya memecahkan masalah, konflik ketegangan di antara masyarakat.. itu yang penting," ujarnya.
Jumat pekan lalu, sekelompok massa merusak sejumlah rumah ibadah umat Buddha di Tanjung Balai. Kekerasan itu berawal dari munculnya perbedaan pendapat antar kelompok. Bangunan yayasan sosial dan delapan unit mobil juga dibakar.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian mengatakan, pihaknya sekarang ini masih memburu penyebar pesan lewat media sosial yang diduga menjadi pemicu perusakan sejumlah tempat ibadah di Tanjung Balai.
Pesan yang berisi adanya larangan masjid untuk memperdengarkan azan telah memicu puluhan warga melakukan aksi pengrusakan. Kepolisian saat ini telah menetapkan 12 orang tersangka yang diduga terlibat kerusuhan. Namun, polisi masih melakukan pendalaman dan belum menentukan siapa provokator kerusuhan dalam peristiwa tersebut, ujar Tito.
Ia menambahkan bahwa jika provokator dalam kasus ini sudah terungkap, maka akan dikenakan Pasal 28 ayat 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 milliar. Menurut Tito, Kepolisian sangat serius mengungkap kasus ini.
Tito juga berharap masyarakat selektif dalam menerima pesan dari media sosial. Tito mengatakan telah berbicara dengan Menteri Komunikasi dan Informatika untuk membicarakan soal pengawasan penggunaan media sosial, sehingga diharapkan kasus seperti yang terjadi di Tanjung Balai tidak terjadi lagi.
"Dengan Kominfo saya berbicara karena kalo menyebarkan berita bohong melalui teknologi elektronik itu hukuman pidananya enam tahun," ujarnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan pihaknya akan segera memblokir akun-akun yang melakukan provokasi. Dia juga mengatakan akan bekerjasama dengan kepolisian terkait masalah ini.
Rudiantara mengatakan akan memberikan akses kepada kepolisian untuk memburu pemilik akun penyebar ujaran kebencian penyebab kerusuhan berbau isu suku, agama, ras dan antargolongan yang terjadi di Tanjung balai, Sumatera Utara.
Presiden Joko Widodo mengatakan masyarakat harus saling menghargai perbedaan yang ada. Peristiwa yang terjadi Tanjung Balai, Sumatera Utara harus dijadikan pelajaran semua pihak agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang, ujarnya.
Presiden menegaskan para pelaku pembakaran tersebut harus dijatuhi hukuman yang berat. Pemerintah, tambahnya, akan menindak tegas siapapun yang melakukan tindakan anarkis.