Hari Senin, 23 Mei sekitar pukul 01.30 dini hari, pintu rumah Ta’zis di Desa Purworejo, Kendal, Jawa Tengah diketuk sejumlah orang. Kepada Ta’zis yang merupakan pimpinan jamaah Ahmadiyah di wilayah itu, orang-orang tersebut menyampaikan berita buruk. Masjid Al Kautsar yang baru mereka bangun secara gotong royong dirusak orang tak dikenal. Namun, hujan deras dan situasi keamanan yang tidak menentu, membuat jamaah Ahmadiyah memutuskan untuk tidak menengok masjid yang dirusak itu.
Baru pada pagi harinya, Ta’zis dan jamaah Ahmadiyah setempat mendatangi masjid mereka. Tempat ibadah yang dibangun dengan dana lebih dari Rp 200 juta itu telah porak-poranda.
Kepada VOA, Ta’zis mengaku heran dengan aksi perusakan yang terjadi. Sebagai warga di kampung tersebut, dia mengaku memiliki hubungan sosial yang sangat bagus, sewajarnya sebagai warga kampung. Bahkan pada pagi hari setelah masjid mereka dirusak, Ta’zis masih datang memenuhi undangan pengajian pernikahan warga setempat.
"Yang menjadi tempat masjid itu adalah dusun Laban. Nah, di dusun Laban itulah saya tinggal. Saya ini jualan kayu dan bambu, dan yang membeli ya orang-orang desa sini dan semua tetangga. Jadi, kalau tidak punya hubungan yang baik dengan warga, ya saya tidak bisa berdagang di sini,” tutur Ta’zis.
Setidaknya ada lebih dari 80 anggota Ahmadiyah yang berada di bawah kepemimpinan Ta’zis. Di Kendal sendiri, Ahmadiyah memiliki dua cabang. Seperti juga cabang-cabang Ahmadiyah lain di Jawa Tengah, jamaah juga memiliki masjid sendiri untuk beribadah. Karena itulah Ta’zis merasa heran, Pembangunan masjid di Desa Purworejo, kecamatan Ringinarum, Kendal ini bermasalah.
Panitia pembangunan sendiri sudah mengantongi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak 2004, namun proses pembangunan tidak terealisasi sepenuhnya sampai saat ini.
“Barusan Pak Kapolres bersama Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) serta Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) menyampaikan di sini kepada kami supaya tenang, dan informasinya juga akan memediasi masalah ini. Kami juga sudah meminta supaya bisa beribadah, memiliki tempat ibadah yang nyaman, karena kita sudah sesuai dengan semua prosedur pendirian bangunan, kok di tengah jalan ada peristiwa seperti ini. Untuk sementara ini kami disarankan Pak Kapolres untuk tidak membuat suasana keruh,” tambah Ta’zis.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Yogyakarta sehari pasca perusakan mengaku prihatin dengan tindakan sepihak itu. Dia meminta Kantor Kementerian Agama setempat melakukan investigasi kasus tersebut.
"Ada beberapa pandangan berbeda. Ada yang bilang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sudah ada sejak 2004 dan ada juga yang bilang IMB sudah ditangguhkan Dinas PU setempat. Saya minta, serahkan kepada aparat penegak hukum untuk menyelesaikan silang sengketa " kata Lukman.
Sementara Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti kepada pers di Jakarta hari Selasa lalu meminta masyarakat mempercayakan penyelidikan kasus tersebut kepada pihak kepolisian.
Ia menyatakan hingga saat ini polisi masih mengumpulkan keterangan para saksi yang diduga mengerti kejadian itu. "Yakin, bahwa polisi melakukan penyelidikan untuk bisa mengungkap pelakunya," kata Badrodin.
Kepolisian Kendal sendiri kini sudah memberikan pengamanan, baik untuk masjid yang dirusak maupun bagi jamaah Ahmadiyah setempat.
Jawa Tengah selama ini dikenal sebagai wilayah yang cukup sejuk dan toleran. Yayan M. Royani, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) di Semarang mengatakan kepada VOA, dalam beberapa tahun terakhir tidak tercatat kasus intoleransi yang menonjol. Khusus terkait jamaah Ahmadiyah di Kendal ini, eLSA sudah melakukan pendampingan sejak tahun 2011.
Yayan menilai, alasan penolakan pembangunan masjid sebenarnya tidak masuk akal. Di samping sudah memiliki IMB sejak 2004, masjid ini justru akan menjadi pusat kegiatan Ahmadiyah setempat. Keberadaan masjid tersendiri akan membuat Ahmadiyah tidak dianggap menyebarkan ajaran, seperti yang dilarang dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri (SKB 3 Menteri).
“Padahal kan mereka sudah mendapatkan IMB sejak tahun 2004, seharusnya tidak ada permasalahan terkait persetujuan warga. Teman-teman Ahmadiyah secara hukum ya, sudah sah dengan ijin tahun 2004. Seharusnya masyarakat ikut menghargai bagaimana mereka, anggota Ahmadiyah itu menjalankan ibadahnya. Mendirikan masjid itu kan menjadi bagian dari refleksi beribadah bagi mereka sendiri,” ujar Yayan.
Setara Institut di Jakarta mencatat, SKB 3 Menteri yang dikeluarkan tahun 2008 kerap menjadi pangkal persoalan tindakan intoleransi semacam ini. Karena itulah, lembaga ini berulangkali menyatakan desakan agar SKB tersebut dicabut.
Dalam catatan Setara Institut, sejak 2007 hingga kasus Kendal ini sebanyak 114 masjid Ahmadiyah telah dirusak, di berbagai daerah di Indonesia. [ns/em]