Hubungan bilateral Thailand dengan China sedang meningkat, sebagaimana ditunjukkan oleh hubungan ekonomi dan kerjasama militer yang bertumbuh. Namun, para analis mengatakan Bangkok ingin menempuh arah yang lebih moderat dengan menyeimbangkan kembali kebijakan luar negerinya.
Sebelumnya bulan Desember, Wakil Perdana Menteri Thailand Prawit Wongsuwan memimpin delegasi ke China yang mengikutkan pakar strategi ekonomi utama pemerintah, Somkid Jatusripitak. Beberapa persetujuan bilateral mengenai perdagangan, ekonomi dan kerjasama investasi ditanda-tangani.
Rencana tersebut mencakup peningkatan perdagangan dua arah dari $60 milyar menjadi $120 milyar sebelum tahun 2020 serta memperpanjang rencana lima tahun pembangunan ekonomi bersama.
Panitan Wattanayagorn, seorang pakar politik dan penasehat Wakil Perdana Menteri Prawit, mengatakan kegiatan usaha dan perdagangan serta pariwisata adalah pendorong hubungan bilateral itu.
“Hubungan sedang meluas, itu sangat jelas dan akan terus meluas dalam beberapa tahun berikut karena merupakan keharusan dan kedekatan,” kata Panitan.
Dalam pembicaraan itu, China menerima usul Thailand untuk membangun pusat pemeliharaan dan produksi senjata China di Thailand. Prawit juga mengundang China untuk turut dalam Latihan Cobra Gold, seri latihan militer di Thailand yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Bidang-bidang lain peningkatan hubungan militer timbul setelah Chinadan Thailand mengadakan latihan bersama dengan nama program Blue Strike yang melibatkan mariner dari angkatan laut kedua negara.
Prawit telah memimpin perundingan dalam pembelian tiga kapal selam Yuan kelas S26T buatan China dengan harga $1 milyar. Thailand juga membeli tank-tank tempur dari China.
Menteri Pertahanan China, Chang Wanquan, dalam pernyataan resmi, mengatakan Beijing bersedia memperkuat kerjasama dalam bidang-bidang seperti “latihan bersama dan industri pertahanan nasional.” [gp]