Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, KPK tidak akan dapat melakukan penindakan kasus korupsi setelah UU KPK diberlakukan pada 17 Oktober 2019. Sebab, kata dia, berdasar UU KPK yang baru, KPK harus mendapat izin Dewan Pengawas untuk melakukan penindakan. Pada sisi lain, Dewan Pengawas KPK baru akan dilantik pada Desember mendatang bersamaan dengan pimpinan KPK terpilih.
"Paling tidak sampai Desember, KPK tidak bisa melakukan penindakan. Itu hal yang paling nyata di depan mata, kita bicara kerja penegakan hukum. KPK tidak bisa menyadap, penyadapnya harus izin dewan pengawas. KPK mau menyita, harus izin dewan pengawas, tapi belum ada," jelas Donal Fariz di Jakarta, Senin (14/10).
Donal Fariz menambahkan, KPK terancam digugat oleh pihak-pihak lain jika nekat melakukan penindakan kasus korupsi. Alasannya, tidak ada aturan hukum yang mengatur masa transisi ini. Padahal, kata Donal, potensi munculnya korupsi cukup besar menjelang pelaksanaan pilkada serentak pada 2020.
"Kenapa kita sebut musim korupsi. Kita ingat 2018, KPK panen OTT kepala daerah sebanyak 29 orang. Kenapa, karena 2018 ada pilkada serentak. Tahun 2020 akan ada 270 kepala daerah pilkada serentak," tambahnya.
Ia mendesak presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK untuk mencegah terjadinya kekosongan penindakan terhadap kasus korupsi.
Sementara itu, peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Rizki Yudha menyayangkan presiden yang tidak menolak revisi UU KPK yang di dalamnya terdapat sejumlah pasal yang kontroversial. Ia juga menyayangkan presiden yang turut andil atas terpilihnya pimpinan KPK dengan rekam jejak yang diduga bermasalah. Padahal, kata Rizki, KPK merupakan harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi, termasuk korupsi di peradilan.
"Misalnya hakim dari tahun 2015 sampai 2018 setidaknya ada 12 kasus yang ditangani KPK, jaksa ada 3 kasus dan pengacara 7 kasus korupsi. Itu beberapa pihak aparat penegak hukum yang kasusnya ditangani KPK," jelas Rizki.
Rizki juga berpendapat presiden semestinya dapat menjadi penengah kala terjadi konflik antarlembaga dalam pemberantasan korupsi seperti antara KPK dan Polri. Bukan sebaliknya, bersifat pasif ketika terjadi konflik antarlembaga.
VOA sudah berusaha meminta tanggapan ke Kantor Staf presiden (KSP) dan sejumlah anggota DPR terpilih terkait potensi kekosongan penindakan KPK karena belum adanya dewan pengawas. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari KSP dan anggota DPR terpilih. (sm/ka)