Dana kampanye menjadi salah satu indikator jujur atau tidaknya pasangan calon (paslon) dalam berkompetisi di pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang akan digelar di 270 daerah pada 9 Desember 2020.
Peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha melaporkan hasil pemantauan lembaganya terhadap laporan dana kampanye paslon dalam Pilkada 9 Desember di 30 daerah yang mencakup 9 provinsi, 12 kabupaten dan 9 kota.
"Secara umum pasangan calon tidak serius dalam melaporkan dana kampanye. Ini terlihat dari jumlah yang kami anggap masih janggal karena kami anggap relatif kecil dibanding kebutuhan biaya kampanye yang sangat tinggi. Lalu kepatuhan dan kejujuran pasangan calon masih menjadi catatan utama. Ini berkaitan dengan poin yang tadi," kata Egi.
Egi mengakui batas maksimal dana kampanye yang tidak diatur membuat kompetisi pilkada menjadi tidak adil. Dia menambahkan para kandidat masih menganggap laporan dana kampanye sekadar formalitas.
Egi mengatakan apabila pasangan calon tidak jujur dalam melaporkan dana kampanye akan terciptapeluang bagi oligarki atau cukong untuk membiayai kandidat dalam pilkada.
Kesembilan provinsi yang dipantau oleh ICW itu adalah Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi tengah. Dua belas kabupaten yang dipantau adalah Sleman, Gorontalo, Indramayu, Klaten, Kediri, Malang, Banjar, Kutai Kertanegara, Merauke, Manokwariu, Mamuju, dan Konawe Selatan. Sementara itu, sembilan kota yang dipantau adalah Cilegon, Tangerang Selatan, Surakarta, Blitar, Surabaya, Mataram, Manado, Medan, dan Makassar.
Data itu dikompilasi dari laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Laporan yang dipantau adalah laporan awal dana kampanye dan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye. Periode laporan awal dana kampanye berlangsung pada 23-24 September 2020 dan periode laporan sumbangan dana kampanye berlangsung pada 25 September-30 Oktober 2020.
Berdasarkan pantauan ICW, total dana kampanye yang terbesar berasal dari pasangan calon, yakni Rp 3,56 miliar (86 persen).
ICW melaporkan, sumbangan perseorangan mencapai Rp 354 juta (8 persen), sementara sumbangan dari partai politik atau gabungan partai politik senilai Rp 252,5 juta (6 persen).
Menurut Egi, untuk menyelesaikan persoalan seputar dana kampanye, ICW merekomendasikan penguatan aturan yang bisa memaksa pasangan calon melaporkan dana kampanye secara jujur. ICW, katanya juga, merekomendasikan penguatan pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dengan dibantu oleh lembaga-lembaga terkait, termasuk Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dan Direktorat Jenderal Pajak.
Anggota Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja mengatakan hingga saat ini lembaganya belum menerima laporan terkait penyimpangan dana kampanye di pilkada 2020.
Dia mengingatkan para calon kepala daerah berkewajiban melaporkan dana kampanye. Mereka yang tidak melapor atau melakukan kecurangan bisa dikenai sanksi administrasi atau diskualifikasi .
“Ada kewajiban untuk melaporkan, jika tidak mematuhi kewajiban untuk melaporkan mereka akan didiskualifikasi, “kata Bagja.
Sanksi bagi pemberi atau penerima dana kampanye melebihi batas adalah pidana penjara paling singkat empat bulan atau paling lama dua tahun dan atau denda paling sedikit Rp 200 juta atau maksimal Rp 1 miliar. Hukuman serupa juga akan diberikan kepada penerima atau pemberi dana kampanye dari atau kepada pihak yang dilarang.
Kandidat yang memberikan keterangan tidak benar soal laporan dana kampanyenyabisa dikenai sanksi penjara minimum dua bulan atau paling lama setahun, dan atau denda paling sedikit Rp1 juta atau paling besar Rp 10 juta. [fw/ab]