Ketua Dewan Pakar PB IDI, Menaldi Rasmin mengatakan perilaku masyarakat menjadi bagian penting dalam menurunkan pandemi COVID-19. Menurutnya, masyarakat harus bekerja sama dengan pemerintah dengan cara mematuhi regulasi yang telah dibuat.
"Masih belum berjalannya 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, membatasi mobilisasi dan interaksi) di tengah-tengah publik itu sebenarnya menunjukkan bahwa kita masih mesti berpikir. Ketika dunia angkanya sudah mulai turun. Indonesia kalau pun turun tidak terlalu," katanya dalam konferensi pers IDI yang dilakukan secara daring, Senin (1/3).
"Kata kuncinya bukan pada pemerintah, nakes. Kata kuncinya pada kita semua masyarakat," Menaldi menambahkan.
Menurutnya, apabila masyarakat tidak patuh dan mengabaikan gerakan 5M. Maka bukan tidak mungkin akan terjadi mutasi perubahan dari virus COVID-19.
"Tapi kalau itu (virus) dibantu mutasi maka kita akan masuk ke dalam kesulitan baru. Selain kita menjadi sulit untuk menemukannya. Kita sulit lagi untuk mengobatinya. Kita sulit lagi untuk mencegahnya," ucap Menaldi.
Selain peran masyarakat yang berpengaruh dalam penurunan angka COVID-19. Menaldi juga menuturkan bahwa program vaksinasi COVID-19 dinilai merupakan cara yang paling etis untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity guna mendapatkan kekebalan masyarakat.
"Cara yang paling etis adalah seperti yang dilakukan pemerintah dengan memvaksinasi masyarakat. Minimal 70 persen dari masyarakat, artinya 180 juta penduduk," ujarnya.
Penurunan angka COVID-19 akan tercapai apabila masyarakat sangat disiplin dan patuh dalam menerapkan gerakan 5M. Sebab, perilaku masyarakat dinilai bisa menjadi pemutus rantai penularan COVID-19.
"Kita tahu sampai sekarang belum ada obat yang definitif untuk virus tipe ini. Kita belum bisa mengandalkan obat sebagai pemutus rantai hubungan antar penular. Pemutusan rantai penular itu harus dengan preferensi pertama yaitu 5M, vaksinasi didasari perilaku publik," ungkapnya.
Ketua Tim Mitigasi PB IDI, Adib Khumaidi memaparkan ada empat permasalahan dalam penanganan COVID-19. Pertama, belum bersinerginya regulasi sistem kesehatan nasional. Kedua, tidak siapnya sistem kesehatan nasional di dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19. Ketiga, ketergantungan industri dan teknologi kesehatan terhadap luar negeri.
"Terakhir, kurangnya kesadaran serta tidak patuhnya masyarakat di dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19," ujarnya.
Menurutnya, belum bisa memprediksi kapan pandemi COVID-19 di Indonesia akan berakhir. Namun, memaksimalkan upaya 3T (testing, tracing, dan treatment), ditambah dengan program vaksinasi yang baik dan target herd immunity bisa tercapai di tahun 2021. Bukan tidak mungkin penurunan pandemi COVID-19 bisa dicapai.
"Kita bisa melihat dari kurva akan melandai atau naik kembali," ucap Adib.
Sementara, Ketua Divisi Pedoman dan Protokol Tim Mitigasi PB IDI, Eka Ginanjar menjelaskan dibutuhkan segitiga pengendalian risiko dalam upaya menurunkan angka COVID-19. Di dalam segitiga pengendalian risiko salah satunya terdapat eliminasi.
"Kita tahu bahwa segitiga ini untuk menghindari suatu infeksi, eliminasi adalah hal yang paling penting. Eliminasi yang saat ini kita deteksi adalah vaksinasi. Vaksinasi merupakan program dunia yang bisa diharapkan bisa mendapatkan herd immunity," pungkasnya. [aa/em]