Pembahasan tingkat pertama Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) telah disetujui DPR RI bersama dengan Pemerintah pada Rabu, 6 April 2022. Kesepakatan pada pembahasan tingkat pertama RUU TPKS ini akan dilanjutkan ke pembahasan pada tingkat dua sebelum nantinya disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI.
Ketua Eksekutif Komite Indonesia Joining Forces (IJF), Dini Widiastuti mengungkapkan, pengesahan RUU TPKS merupakan pencapaian luar biasa dari perjuangan panjang masyarakat bersama DPR RI untuk menghadirkan instrumen hukum yang komprehensif dan berperspektif korban dalam menangani kekerasan seksual. Proses dialog yang panjang itu terjadi tidak hanya di dalam ruang sidang antara DPR RI dan Pemerintah.
“Di luar sidang, lobi-lobi berbagai elemen masyarakat sipil dengan DPR RI dan pemerintah juga berlangsung, dalam memastikan substansi RUU dapat mengakomodasi berbagai bentuk kekerasan seksual yang dialami korban, khususnya anak. RUU TPKS juga menjadi tumpuan dalam hal pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban yang selama ini menjadi catatan merah,” lanjut Dini dalam pernyataan yang diterima VOA, Senin (11/4).
IJF merupakan kumpulan dari organisasi yang memperjuangkan hak-hak anak. Mereka adalah Plan Indonesia (Yayasan Plan International Indonesia), Wahana Visi Indonesia (WVI), Child Fund International Indonesia, SOS Children’s Villages Indonesia, Yayasan Save the Children Indonesia dan Federasi International Terre des Hommes dengan Pusat Studi dan Perlindungan Anak (PKTA).
Dini menambahkan, walaupun RUU TPKS sudah mengakomodasi berbagai masukan dari IJF, ada beberapa catatan penting terkait isu-isu perlindungan yang belum diatur dalam RUU itu. Pertama, RUU TPKS masih menyebutkan pelaku untuk anak. Hal ini dinilai akan berpotensi melabeli anak sebagai pelaku seumur hidupnya.
Penyebutan ini tidak sesuai dengan prinsip perlindungan anak, sehingga IJF menawarkan pemilihan diksi yang lebih baik, yaitu “anak berkonflik dengan hukum”, sayangnya masukan ini tidak menjadi pertimbangan dalam pembahasan.
Kedua, pengaturan tentang pencegahan kehamilan dan pemulihan menstruasi yang penting bagi korban, terutama anak. Kehamilan pada korban kekerasan seksual dapat menambah beban dan trauma berkepanjangan. IJF menganggap penting adanya layanan pencegahan kehamilan pada korban kekerasan seksual yang dapat dilakukan oleh tenaga medis. Ketersediaan layanan ini dapat mengurangi dampak pada kesehatan mental korban.
Ketiga, terkait dengan pembahasan Pasal 6 ayat C, di mana pasal tersebut dinyatakan sebagai pasal rujukan untuk bentuk kekerasan child grooming. IJF menilai bahwa pasal ini belum mencakup penjelasan yang menggambarkan bentuk child grooming. Karena itu, nantinya dalam peraturan turunan maupun implementasi, hal ini perlu dijadikan pertimbangan.
Child grooming adalah sebuah upaya pendekatan yang dilakukan oleh predator anak untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan ikatan emosional dengan anak, sehingga ia dapat memanipulasi atau mengeksploitasi dan bahkan melecehkan korban.
“Berdasarkan tiga isu utama yang kami angkat ini, kami berharap dalam pembahasan tahap II nantinya, isu-isu yang telah kami angkat dapat diakomodir, dan diatur dalam peraturan turunan di bawah undang-undang ataupun dalam kerangka implementasi RUU,” kata Dini yang berharap implementasi RUU TPKS dapat menjadi payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual, termasuk anak-anak.
Perlindungan Anak
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Advokasi, Kampanye, Komunikasi dan Media Save the Children Indonesia, Dewi Sri Sumanah, menilai RUU TPKS akan memberikan jaminan dan perlindungan terhadap anak berdasarkan refleksi pengalaman anak selama ini.
Beberapa pasal yang mencerminkan perlindungan anak itu di antaranya pasal yang memberikan jaminan hukum bagi anak untuk terhindar dari pemaksaan perkawinan; kekerasan seksual terhadap anak dalam berbagai bentuk yang dinyatakan sebagai bukan delik aduan; aktivitas seksual dengan anak atau yang melibatkan anak merupakan bentuk kejahatan seksual.
“RUU TPKS tentunya akan menjadi legal reform yang bisa menjadi penguat dan pelengkap undang-undang perlindungan anak yang sudah ada di Indonesia. Kami sangat mengapresiasi kinerja DPR RI dan pemerintah Indonesia dalam penyusunan dan pembahasan RUU TPKS ini," kata Dewi Sri Sumanah dihubungi VOA, Minggu (10/4).
Lebih jauh, Dewi menjelaskan RUU TPKS juga memberikan jaminan bagi korban untuk mendapatkan restitusi dari pelaku dan/atau kompensasi dari negara melalui Dana Bantuan Korban. Jaminan pembayaran restitusi antara lain dilakukan dengan penyitaan harta pelaku dengan tetap menjamin hak-hak keluarga pelaku sehingga tidak menciptakan korban baru.
“Tentunya kami berharap proses berikutnya berjalan dengan lancar ya sampai dengan tahap pengesahan termasuk mengakomodir beberapa hal yang menjadi input (masukan) beberapa lembaga termasuk kami yang tergabung dalam IJF,” harap Dewi Sri Sumanah.
Dalam siaran pers, Jumat (8/4), IJF menilai RUU TPKS memastikan pemulihan hak korban secara komprehensif. Bentuk perlindungan lain bagi korban yang dimuat di RUU TPKS ini juga mencakup penyelenggaraan layanan terpadu melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) terutama terkait dengan SDM yang terlatih dan memiliki sensitivitas gender dan HAM; dan perlindungan korban kekerasan seksual di media elektronik di mana korban memiliki hak untuk mengajukan pembatasan akses dan penghapusan konten. [yl/ab]