Mobil Ferrari warna perak yang penyok, polisi Thailand yang tewas dan mayatnya terseret 200 meter di bawah roda, supir keluarga yang rela pasang badan untuk ahli waris berusia 27 tahun dari kerajaan usaha minuman energi Red Bull.
Berita ini ada di halaman-halaman depan media di Thailand Selasa (4/9) dan menjadi topik hangat di Internet, dimana asumsi umum adalah bahwa budaya impunitas atau kekebalan hukum bagi pengusaha kaya atau elit politik lagi-lagi berlaku.
Vorayuth Yoovidhya, cucu laki-laki pendiri Red Bull, miliarder Chaleo Yoovidhya, awalnya melakukan tabrak lari namun belakangan mengaku menabrak polisi, menurut pihak kepolisian. Ia dibebaskan beberapa jam sesudahnya dengan tebusan 500.000 baht (US$16.000).
Meskti Vorayuth telah menghadiri sidang, publik memiliki sedikit kepercayaan bahwa keadilan akan ditegakkan.
“Penjara hanya untuk orang miskin. Orang kaya tidak pernah dihukum. Selalu ada kambing hitam,” kata salah satu komentar di laman populer di Thailand, Panthip.com.
Komentar di portal berita Manager.co.th tertulis: “Hukumannya barangkali akan ditangguhkan. Apalah artinya nyawa seorang manusia?”
Hukuman penjara yang ditangguhkan sepertinya sudah menjadi norma bagi kelompok politik yang berkuasa atau warga Thailand yang memiliki koneksi.
Pada Juli, hanya berjarak lima hari, dua anggota parlemen dari partai yang berkuasa dan bekas wakil perdana menteri dinyatakan bersalah atas fitnah dan menerima hukuman tangguhan, sementara ketua senat Teeradej Meepien dinyatakan bersalah karena secara ilegal memberi dirinya sendiri uang rapat bulanan ketika ia menjadi ketua ombudsman. Teeradej tidak dihukum penjara.
Demikian juga dengan remaja perempuan di bawah umur bernama Orachorn Thephasadin na Ayudhya, yang diberi hukuman tangguhan penjara dua tahun pada Jumat lalu karena menewaskan sembilan orang pada 2012 ketika mobil yang ia tumpangi menabrak mikrolet.
Kasus tersebut menimbulkan kemarahan di media sosial bahwa bagaimana seorang remaja putri dari keluarga aristokrat berhasil menghindari hukuman penjara dan hanya mendapat larangan mengendarai mobil selama tujuh tahun.
Norma Budaya
“Kesamaan dari kasus-kasus ini adalah reaksi dari mereka yang bertanggung jawab adalah ‘Bagaimana saya menghindari hukuman?’,” ujar Voranai Vanijaka, komentator politik dan sosial untuk surat kabar Bangkok Post.
“Ini adalah masalah siapa yang Anda kenal, bukannya apa yang Anda ketahui dan itulah yang menjadi norma budaya saat ini. Orang-orang percaya bahwa mereka yang kaya dan punya koneksi akan bebas hukuman. Masyarakat Thai merasa jijik, tapi kami menerimanya.”
Banyak kasus tidak sampai ke pengadilan, dengan beberapa menteri atau birokrat papan atas yang terlibat korupsi kehilangan jabatan tapi tidak menghadapi tuntutan pidana.
Terkadang, permintaan maaf sederhana sudah cukup.
Minggu lalu, seorang aktris populer yang dituduh menghindari pajak, Chermarn "Ploy" Boonyasak, menangis di hadapan media dan menyalahkan akuntannya karena kesalahan yang tidak disengaja itu, meski kabarnya ia memasang foto dirinya di media sosial dengan anak mantan pejabat departemen keuangan, untuk menimbulkan kesan “jangan coba-coba melawan kami.”
Argumen “kesalahan yang tidak disengaja” juga dipakai oleh mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 2001, ketika ia dinyatakan tidak bersalah dalam menyembunyikan kekayaan sebesar 4,5 miliar baht atas nama empat pembantu rumah tangga dan seorang pengusaha.
Pada kasus terpisah, Thaksin, yang digulingkan pada kudeta 2006, dijatuhi hukuman in absentia untuk dua tahun penjara karena konflik kepentingan pada 2008 namun kabur ke pengasingan. Thaksin mengklaim bahwa hukuman tersebut, dan kasus-kasus lainnya yang tertunda, memiliki motivasi politik.
Konflik kepentingan adalah keluhan yang umum di Thailand. Bulan lalu, kepindahan anak Wakil Perdana Menteri Chalerm Yoobamrung – yang membawahi satuan kepolisian – dari militer ke kepolisian menimbulkan kontroversi di kalangan politisi oposisi, bukan hanya karena dugaan nepotisme.
Duang Yoobamrung dibebaskan pada 2004 dari tuduhan menembak mati polisi di sebuah klub malam karena kurangnya bukti. Duang dikeluarkan dari militer karena desersi, setelah kabur ke Malaysia untuk menghindari penahanan, namun ia ditempatkan lagi beberapa tahun kemudian.
Menurut laporan media, Duang ditugaskan di Kepolisian Metropolitan sebagai instruktur penembak. (Reuters/Martin Petty)
Berita ini ada di halaman-halaman depan media di Thailand Selasa (4/9) dan menjadi topik hangat di Internet, dimana asumsi umum adalah bahwa budaya impunitas atau kekebalan hukum bagi pengusaha kaya atau elit politik lagi-lagi berlaku.
Vorayuth Yoovidhya, cucu laki-laki pendiri Red Bull, miliarder Chaleo Yoovidhya, awalnya melakukan tabrak lari namun belakangan mengaku menabrak polisi, menurut pihak kepolisian. Ia dibebaskan beberapa jam sesudahnya dengan tebusan 500.000 baht (US$16.000).
Meskti Vorayuth telah menghadiri sidang, publik memiliki sedikit kepercayaan bahwa keadilan akan ditegakkan.
“Penjara hanya untuk orang miskin. Orang kaya tidak pernah dihukum. Selalu ada kambing hitam,” kata salah satu komentar di laman populer di Thailand, Panthip.com.
Komentar di portal berita Manager.co.th tertulis: “Hukumannya barangkali akan ditangguhkan. Apalah artinya nyawa seorang manusia?”
Hukuman penjara yang ditangguhkan sepertinya sudah menjadi norma bagi kelompok politik yang berkuasa atau warga Thailand yang memiliki koneksi.
Pada Juli, hanya berjarak lima hari, dua anggota parlemen dari partai yang berkuasa dan bekas wakil perdana menteri dinyatakan bersalah atas fitnah dan menerima hukuman tangguhan, sementara ketua senat Teeradej Meepien dinyatakan bersalah karena secara ilegal memberi dirinya sendiri uang rapat bulanan ketika ia menjadi ketua ombudsman. Teeradej tidak dihukum penjara.
Demikian juga dengan remaja perempuan di bawah umur bernama Orachorn Thephasadin na Ayudhya, yang diberi hukuman tangguhan penjara dua tahun pada Jumat lalu karena menewaskan sembilan orang pada 2012 ketika mobil yang ia tumpangi menabrak mikrolet.
Kasus tersebut menimbulkan kemarahan di media sosial bahwa bagaimana seorang remaja putri dari keluarga aristokrat berhasil menghindari hukuman penjara dan hanya mendapat larangan mengendarai mobil selama tujuh tahun.
Norma Budaya
“Kesamaan dari kasus-kasus ini adalah reaksi dari mereka yang bertanggung jawab adalah ‘Bagaimana saya menghindari hukuman?’,” ujar Voranai Vanijaka, komentator politik dan sosial untuk surat kabar Bangkok Post.
“Ini adalah masalah siapa yang Anda kenal, bukannya apa yang Anda ketahui dan itulah yang menjadi norma budaya saat ini. Orang-orang percaya bahwa mereka yang kaya dan punya koneksi akan bebas hukuman. Masyarakat Thai merasa jijik, tapi kami menerimanya.”
Banyak kasus tidak sampai ke pengadilan, dengan beberapa menteri atau birokrat papan atas yang terlibat korupsi kehilangan jabatan tapi tidak menghadapi tuntutan pidana.
Terkadang, permintaan maaf sederhana sudah cukup.
Minggu lalu, seorang aktris populer yang dituduh menghindari pajak, Chermarn "Ploy" Boonyasak, menangis di hadapan media dan menyalahkan akuntannya karena kesalahan yang tidak disengaja itu, meski kabarnya ia memasang foto dirinya di media sosial dengan anak mantan pejabat departemen keuangan, untuk menimbulkan kesan “jangan coba-coba melawan kami.”
Argumen “kesalahan yang tidak disengaja” juga dipakai oleh mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 2001, ketika ia dinyatakan tidak bersalah dalam menyembunyikan kekayaan sebesar 4,5 miliar baht atas nama empat pembantu rumah tangga dan seorang pengusaha.
Pada kasus terpisah, Thaksin, yang digulingkan pada kudeta 2006, dijatuhi hukuman in absentia untuk dua tahun penjara karena konflik kepentingan pada 2008 namun kabur ke pengasingan. Thaksin mengklaim bahwa hukuman tersebut, dan kasus-kasus lainnya yang tertunda, memiliki motivasi politik.
Konflik kepentingan adalah keluhan yang umum di Thailand. Bulan lalu, kepindahan anak Wakil Perdana Menteri Chalerm Yoobamrung – yang membawahi satuan kepolisian – dari militer ke kepolisian menimbulkan kontroversi di kalangan politisi oposisi, bukan hanya karena dugaan nepotisme.
Duang Yoobamrung dibebaskan pada 2004 dari tuduhan menembak mati polisi di sebuah klub malam karena kurangnya bukti. Duang dikeluarkan dari militer karena desersi, setelah kabur ke Malaysia untuk menghindari penahanan, namun ia ditempatkan lagi beberapa tahun kemudian.
Menurut laporan media, Duang ditugaskan di Kepolisian Metropolitan sebagai instruktur penembak. (Reuters/Martin Petty)