Acara pelantikan presiden ke-46 Amerika Joe Biden berlangsung hari Rabu (20/1), dalam suasana yang tidak pernah terjadi pada pelantikan sebelumnya. Hadirin dalam jumlah besar absen di gedung Kongres AS, Capitol, Gedung Putih serta Alun-Alun Nasional dan sekitarnya, sementara keamanan berlangsung sangat ketat. Ada beragam pendapat dan kesan diaspora Indonesia yang telah berkali-kali mengikuti acara pelantikan presiden Amerika mengenai acara tahun ini.
Soejati Narsikin bermukim di Amerika Serikat selama hampir 51 tahun ini. Sejak tahun 1974 ia selalu mengikuti setiap acara pelantikan presiden AS dengan datang langsung ke Alun-alun Nasional (National Mall) atau ke dekat Capitol, gedung Kongres AS, tempat pengambilan sumpah jabatan berlangsung. Ia tidak peduli dari partai mana presiden yang dilantik itu berasal.
Sejauh ini, baru dua kali dia absen. Yang pertama, ketika kesehatan pensiunan staf KBRI Washington ini menghalanginya bebas bepergian untuk datang ke acara pelantikan presiden ke-45, Donald Trump, pada tahun 2017.
Sekali lagi, tahun ini, ketika masalah pandemi dan keamanan menghalanginya untuk mendatangi tempat menonton seperti biasanya.
Setelah kasus serangan pendukung presiden Donald Trump ke Capitol, hanya dua pekan menjelang pelantikan presiden baru, lokasi di sekitar gedung Kongres AS itu mendapat pengamanan ketat. Menjelang hari pelantikan presiden Joe Biden, 20 Januari, sekitar 25 ribu anggota Garda Nasional serta aparat keamanan lainnya sudah dikerahkan untuk berjaga-jaga di Washington DC.
Selain Capitol, kawasan yang biasa dipadati orang-orang yang merayakan presiden yang baru dilantik adalah National Mall (Alun-Alun Nasional), Gedung Putih, dan sepanjang Pennsylvania yang menjadi jalur parade. Tetapi pengamanan yang ketat membuat daerah-daerah tersebut menjadi kawasan terbatas atau bahkan tertutup sama sekali.
Tetapi berbagai pembatasan itu justru mendatangkan keuntungan baginya. Tak bisa ke lapangan, ia beralih ke layar TV.
“Kalau dulu kita itu hanya melihat dari jauh kan. Karena sudah penuh jadi tidak bisa mendekat. Kalau sekarang, karena di TV, melihat gambarnya bisa dekat. Jadi bisa tahu, jalannya dia, presiden itu, tamu-tamu itu dari dalam keluar jelas begitu lho. Orang nyanyi. Tapi kalau dulu kan dari jauh, melihatnya itu nggak jelas… hanya mendengarkan."
Di antara sekian pelantikan yang telah ia ikuti, yang paling mengesankan baginya adalah acara pelantikan Barack Obama. “Selama sejarah Amerika itu kan nggak ada orang kulit berwarna menjadi presiden,” jelasnya.
Kesan yang sama juga dikemukakan Agus Balthazar, seorang hairdresser (penata rambut) di Washington DC yang bermukim di AS sejak 1998. “Karena dia kan biracial, African American, dengan background pernah tinggal di Indonesia. Istrinya juga African American. Jadi seperti saya yang imigran, (ia) warga minoritas, (dilantik sebagai presiden) itu kan spesial sekali.”
Lain lagi dengan Dian Nugraheni. Bermukim di Amerika sejak 2009, ia sekarang ini bekerja sebagai pembuat sandwich di sebuah deli yang lokasinya tak jauh dari Capitol. Namun belum sekalipun ia turut dalam keramaian menonton langsung acara pelantikan tersebut. Kalau bukan karena waktunya berbarengan dengan hari kerjanya, situasi keamanan, seperti tahun ini, tidak memungkinkan ia datang meskipun tempat kerjanya ditutup sementara sekitar hari pelantikan karena masalah keamanan yang membatasi kedatangan pengunjung delinya.
Situasi keamanan pascakerusuhan di gedung Kongres membawa kedatangan aparat keamanan berlipat-lipat daripada biasanya untuk berjaga-jaga, termasuk di sekitar tempat kerjanya. Sepi pengunjung membuat deli tempat kerjanya ditutup pada hari inaugurasi. Namun pembatasan ketat, praktis seperti lockdown di Washington DC, membuatnya tak bisa menonton langsung pelantikan meskipun ia libur.
“Saya sangat menyayangkan sebenarnya karena kondisi pandemi dan mungkin juga alasan keamanan sehingga pesta yang seharusnya didatangi rakyat Amerika hanya diganti hanya sekitar 200 ribu bendera. Tapi bagi saya nonton TV ini juga cukup untuk mewakili untuk melihat yang terjadi di inagurasi tahun ini,” jelas Dian.
Panitia pelantikan memang hanya mengundang sekitar 1.000 orang untuk menghadiri acara pengambilan sumpah jabatan presiden di Sisi Barat Capitol. Dua ratus ribu lainnya hadir di National Mall, dalam bentuk bendera AS, negara bagian dan teritori.
Soejati tidak menyengajakan diri untuk mencermati hal-hal khusus dalam acara pelantikan. Menurutnya, dari waktu ke waktu, acara pengambilan sumpah presiden sama saja.
Sementara itu Agus banyak mengincar hal-hal artistik yang bisa ia dapatkan sewaktu menonton acara pelantikan. Mulai dari siapa yang akan menyanyikan lagu kebangsaan, hingga ke detail, busana yang dikenakan ibu negara atau pengisi acara.
Bagaimana dengan tahun ini?
Agus menyatakan senang dapat mencermati busana yang dikenakan Lady Gaga, penyanyi idolanya yang membawakan lagu kebangsaan Amerika, Stars Spangled Banner.
“Nangis, nangis, nangis pas melihat kayak tadi, jalannya acara. Melihat pas presiden Obama keluar, tamu-tamunya. O my God, this is it. Apalagi pas presiden dilantik. Soal wakil presiden juga, ada bicracial juga, ada Asia - India, kulit hitam Amerika, latar belakangnya sangat luar biasa, mewakili kita sebagai minoritas. Plus idolaku Lady Gaga menyanyikan lagu kebangsaan. Saya menangis, mbrebes mili.”
Soejati lebih terpukau pada pidato yang disampaikan presiden Joe Biden, yang menyerukan persatuan di antara warga Amerika. Ia melontarkan harapan semoga Amerika bisa tetap menjadi superpower dan bisa merangkul negara-negara lainnya, tetap bisa bersilaturahmi, bisa bergaul dengan negara-negara lain dan tidak membuat permusuhan.
Adapun Dian, dia berterus terang bahwa baginya acara pelantikan adalah hal biasa-biasa saja. Yang mengesankan baginya justru di luar acara pelantikan itu.
“Yang paling mengesankan karena tiba-tiba turun salju. Sedikit turun salju tadi. Aku sebagai pembaca alam melihat itu sebagai suatu pertanda, bahwa itu adalah pertanda yang baik, begitu saja,” kata Dian. [uh/ab]