Kutukan terhadap film anti-Islam oleh para pemimpin agama dan politik di India berlangsung sangat kuat dan tegas. Tetapi, pesan pada rakyatnya sederhana : jangan gunakan kekerasan!
Asaduddin Owaisi, anggota parlemen dari Hyderabad, kota di India bagian selatan yang memiliki jumlah penduduk Muslim yang besar, dan sekaligus mengepalai partai Islam “All India Majlis e-Ittehadul Muslimeen,” mengatakan, “Kami telah menyampaikan kepada masyarakat, kami meminta mereka bahwa, walaupun kita semua merasa sakit dan terluka, tetapi cara terbaik untuk menunjukkan rasa sakit dan kemarahan itu bukan lewat emosi. Untungnya, warga umumnya memahami pesan yang diberikan para ulama, ilmuwan dan pemimpin politik kami.”
Pekan lalu aksi-aksi demonstrasi pecah di kota Chennai dan di Kashmir, yang mayoritas berpenduduk Muslim. Di Chennai demonstran memecahkan kamera-kamera keamanan di konsulat Amerika. Di kota utama Kashmir, Srinagar, demonstran yang melemparkan batu-batu bentrok dengan polisi. Tetapi, reaksi menentang film itu relatif lunak dibanding yang terjadi di negara-negara lain.
Para pemuka agama Islam di India memuji tanggapan cepat pemerintah terhadap film anti-Islam yang menghina Nabi Muhammad itu. Akses video itu lewat internet telah diblokir di India oleh Google lewat undang-undang yang melarang penyebaran “materi ofensif.” Pemerintah India juga mengatakan, mengutuk semua tindakan yang meremehkan keyakinan agama dan mengganggu sentimen keagamaan.
India adalah negara demokrasi sekuler, tetapi negara itu telah berpengalaman dengan aksi kekerasan komunal yang membuat para pemimpinnya lebih waspada terhadap bahan-bahan yang mungkin menyinggung perasaan keagamaan.
Tahun 1988 penerbitan novel “the Satanic Verses” yang kontroversial oleh Salman Rushdi memicu demonstrasi dan larangan. Awal tahun ini kelompok-kelompok Muslim menolak kunjungan Salman Rushdie ke India untuk menghadiri festival kesusasteraan.
Meskipun reaksi terhadap film anti-Islam itu telah diredam, beberapa analis mengatakan, sentimen anti-Amerika semakin menguat di kalangan warga Muslim-India.
Manzoor Alam, Kepala Institut Kajian Objektif di New Delhi mengatakan, “Kemarahan, penderitaan, kebencian, semuanya menyakitkan. Hal-hal ini tidak dapat dihilangkan. Kini kebencian itu juga masuk ke dalam pikiran warga Muslim terhadap Amerika. Alasannya, hanya dengan mengatakan bahwa orang bisa melakukannya berdasarkan kebebasan berekspresi tidak ada yang percaya pada kata-kata itu, karena kebebasan berekspresi itu melukai milyaran warga Muslim.”
Asaduddin Owaisi berharap penerbitan majalah Perancis pekan ini yang memuat beberapa karikatur kontroversial tentang Nabi Muhammad tidak berarti berakhirnya sikap menahan diri yang sudah berlangsung selama ini. Pemerintah India tampaknya akan memblokir akses pada karikatur itu.
Masih banyak pihak yang berharap ketenangan akan menang di negara yang mayoritas penduduknya beragama Hindu itu, di mana warga Muslim menjadi kelompok minoritas terbesar yaitu sekitar 140 juta orang.
Asaduddin Owaisi, anggota parlemen dari Hyderabad, kota di India bagian selatan yang memiliki jumlah penduduk Muslim yang besar, dan sekaligus mengepalai partai Islam “All India Majlis e-Ittehadul Muslimeen,” mengatakan, “Kami telah menyampaikan kepada masyarakat, kami meminta mereka bahwa, walaupun kita semua merasa sakit dan terluka, tetapi cara terbaik untuk menunjukkan rasa sakit dan kemarahan itu bukan lewat emosi. Untungnya, warga umumnya memahami pesan yang diberikan para ulama, ilmuwan dan pemimpin politik kami.”
Pekan lalu aksi-aksi demonstrasi pecah di kota Chennai dan di Kashmir, yang mayoritas berpenduduk Muslim. Di Chennai demonstran memecahkan kamera-kamera keamanan di konsulat Amerika. Di kota utama Kashmir, Srinagar, demonstran yang melemparkan batu-batu bentrok dengan polisi. Tetapi, reaksi menentang film itu relatif lunak dibanding yang terjadi di negara-negara lain.
Para pemuka agama Islam di India memuji tanggapan cepat pemerintah terhadap film anti-Islam yang menghina Nabi Muhammad itu. Akses video itu lewat internet telah diblokir di India oleh Google lewat undang-undang yang melarang penyebaran “materi ofensif.” Pemerintah India juga mengatakan, mengutuk semua tindakan yang meremehkan keyakinan agama dan mengganggu sentimen keagamaan.
India adalah negara demokrasi sekuler, tetapi negara itu telah berpengalaman dengan aksi kekerasan komunal yang membuat para pemimpinnya lebih waspada terhadap bahan-bahan yang mungkin menyinggung perasaan keagamaan.
Tahun 1988 penerbitan novel “the Satanic Verses” yang kontroversial oleh Salman Rushdi memicu demonstrasi dan larangan. Awal tahun ini kelompok-kelompok Muslim menolak kunjungan Salman Rushdie ke India untuk menghadiri festival kesusasteraan.
Meskipun reaksi terhadap film anti-Islam itu telah diredam, beberapa analis mengatakan, sentimen anti-Amerika semakin menguat di kalangan warga Muslim-India.
Manzoor Alam, Kepala Institut Kajian Objektif di New Delhi mengatakan, “Kemarahan, penderitaan, kebencian, semuanya menyakitkan. Hal-hal ini tidak dapat dihilangkan. Kini kebencian itu juga masuk ke dalam pikiran warga Muslim terhadap Amerika. Alasannya, hanya dengan mengatakan bahwa orang bisa melakukannya berdasarkan kebebasan berekspresi tidak ada yang percaya pada kata-kata itu, karena kebebasan berekspresi itu melukai milyaran warga Muslim.”
Asaduddin Owaisi berharap penerbitan majalah Perancis pekan ini yang memuat beberapa karikatur kontroversial tentang Nabi Muhammad tidak berarti berakhirnya sikap menahan diri yang sudah berlangsung selama ini. Pemerintah India tampaknya akan memblokir akses pada karikatur itu.
Masih banyak pihak yang berharap ketenangan akan menang di negara yang mayoritas penduduknya beragama Hindu itu, di mana warga Muslim menjadi kelompok minoritas terbesar yaitu sekitar 140 juta orang.