Penggunaan kekuatan aparat keamanan yang dinilai berlebihan, terutama oleh Brigade Mobil, dalam penanganan aksi demonstrasi menolak kecurangan pemilu 2019 di Jakarta pada 21-23 Mei yang berakhir dengan kerusuhan, mendapat sorotan luas masyarakat.
Koalisi Masyarakat Sipil - yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Anti Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), LBH Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lokataru Foundation, dan Amnesty International Indonesia – yang sama-sama memantau perkembangan situasi di lapangan, mendapati bahwa ada indikasi terjadinya pelanggaran HAM dalam penanganan demonstrasi tersebut.
Dalam konferesi pers di kantor YLBHI Jakarta, Minggu (26/5), Ketua Umum YLBHI Asfinawati, mengatakan semakin banyak fakta dan peristiwa yang digali, maka semakin terungkap berbagai indikasi pelanggaran HAM. Meskipun demikian ia mengingatkan bahwa ini baru temuan awal.
Setidaknya ada 14 hal yang ditemukan dari hasil pemantauan bersama Koalisi Masyarakat Sipil tersebut. Menurutnya, kerusuhan pecah setelah massa kembali datang ke depan gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sekitar pukul 21:30.
Selain itu korban yang jatuh pun sangat banyak dan beragam, antara lain dari kalangan wartawan, pengunjuk rasa, masyarakat umum, hingga tim medis. Penyebab kerusuhan, tambahnya, karena elit politik dari kedua kubu capres-cawapres, baik kubu 01 maupun kubu 02, saling melemparkan pernyataan provokatif, demikian pula para pendukung mereka masing-masing.
Hingga kini belum diketahui siapa dalang kerusuhan tersebut.
Asfinawati mengatakan ada indikasi kesalahan penanganan demonstrasi dan penanganan korban yang tidak segera. Juga penyiksaan, perlakuan keji, dan tindakan yang merendahkan martabat terhadap orang yang ditangkap.
Temuan lainnya adalah kekerasan terhadap tim medis dan penghalangan liputan wartawan, penutupan media sosial, dan larangan bagi keluarga dan pengacara untuk menemui mereka yang ditangkap.
Dari semua temuan itu, lanjut Asfinawati, jelas aparat penegak hukum masih menggunakan pendekatan keamanan.
Asfinawati menyayangkan penggunaan kekerasan dipertontonkan kepada publik dan rusaknya nalar publik oleh perseteruan elit. Banyak sekali komentar masyarakat yang tidak menyatakan keprihatinan terhadap kekerasan itu, namun menyoraki dan menyetujui aksi kekerasan tersebut.
"Tentu saja kita tidak setuju dengan kekerasan apapun, kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat kita tidak setuju. Tetapi kita harusnya lebih tidak setuju lagi bila kekerasan itu diproduksi oleh negara, dilakukan oleh aparat yang harusnya menjaga penegakan hukum,” kata Asfinawati.
“Sesungguhnya yang paling bertanggung jawab, selain aktor-aktor di lapangan, adalah para elit dan ini semua telah mengakibatkan demokrasi kita terancam. Karena kita tidak bisa lagi menbedakan mana tindakan-tindakan yang sah secara hukum, mana tindakan yang tidak sah secara hukum," ujar Asfinawati menambahkan.
Koordinator Kontras Yati Andriani menjelaskan sebetulnya pada 21 Mei di atas jam 21:30 polisi sudah meyakini ada massa yang berbeda dengan massa yang di depan gedung Bawaslu pada siang hari. Polisi juga menyebutkan ada 300-400 orang datang dari Tanah Abang.
Koalisi Masyarakat Sipil juga menemukan fakta di lapangan bahwa massa dan polisi saling melempar batu dan petasan. Mengenai jumlah korban meninggal, hingga Kamis (23/5), diketahui ada delapan orang meninggal dan 737 orang cedera.
Koalisi Masyarakat Sipil juga mempertanyakan siapa dalang kerusuhan yang dimaksud oleh pemerintah, seperti sudah disampaikan oleh Menkopolhukam Wiranto dan Kapolri Tito Karnavian.
“Jangan sampai hanya menyebutkan dalang, ada pihak ketiga, ada penunggang, tetapi pemerintah gagal menjelaskan siapa sebetulnya yang dimaksud dalang itu,” kata Yati.
“Ini penting, selain soal akuntabilitas juga untuk meminimalisir potensi-potensi kerusuhan ke depan dan juga ini untuk memudahkan upaya-upaya penegakan hukum yang ada. Jadi, jangan sampai banyak informasi yang dipublikasi tapi sebetulnya informasi itu sendiri tidak jelas sampai sekarang," kata Yati menegaskan.
Peneliti di Amnesty International Indonesia Papang Hidayat mengatakan polisi sebenarnya terikat dengan tiga aturan internal dalam menangani demonstrasi, yakni Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan kepolisian, dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implemengtasi prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Papang menegaskan polisi hanya boleh bertindak represif terhadap mereka yang melakukan kekerasan dan bukan kepada demonstran damai.
“Kalau ada aksi massa besar yang awalnya damai dan kemudian sebagian dari massa menjadi rusuh, dengan melempar batu, bom molotov, responnya tidak bleh langsung dengan gas air mata. Karena gas air mata itu untuk membubarkan semua aksi massa baik yang damai maupun tidak. Padahal hak untuk kumpul secara damai adalah hak asasi manusia," tutur Papang.
Kepolisian Indonesia menegaskan pihaknya telah bertindak profesional dalam menangani aksi demonstrasi dan kerusuhan pada 21- 22 Mei. Jika ada anggota kepolisian yang terbukti melanggar standar operasional prosedur saat mengamankan kericuhan di sejumlah titik di Jakarta, maka menurut Kadivhumas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo, pihaknya tidak segan-segan mengambil tindakan tegas. [fw/em]