JAKARTA —
Menhan RI Purnomo Yusgiantoro usai menerima Menhan Australia David Johnston di gedung Kementerian Pertahanan Jumat (8/11) mengaku telah menanyakan langsung soal penyadapan.
Johnston dalam pertemuan itu menjelaskan, bahwa isu penyadapan Indonesia oleh Badan Intelijen Australia (DSD) sudah memasuki ranah makro yang tidak lagi sebatas hubungan bilateral antar Kementerian Pertahanan, namun akan diselesaikan melalui jalur politik luar negeri oleh Kementrian luar negeri kedua negara.
Purnomo menambahkan, apa pun keputusan dari Kemlu terkait isu hubungan diplomatik kedua negara, maka Kemhan tinggal mengikuti saja. Hal itu lantaran penentu keputusan ada di tangan Kemlu.
Sementara itu seputar sistem pertahanan keamanan Indonesia, Purnomo Yusgiantoro memastikan sejauh ini masih dalam kondisi aman.
“Sistem yang kita punya, saya sudah pastikan dari para staf saya, para ahlinya. Sistem di kementrian pertahanan itu aman. Karena sistem kita itu menggunakan sistem pertahanan berlapis, di dalam Sistem Informasi Pertahanan Negara (Sisinfohaneg) kita,” kata Menhan Yusgiantoro.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal Sisriadi Iskandar menjelaskan sistem pengamanan pertahanan Indonesia, mengkombinasikan teknologi tinggi dan tradisional.
“Sistem formasi pertahanan kita aman. Karena direduksi dengan alogaritma yang kuat. Sistem kita tertutup tidak terhubung ke luar. Kita menggunakan antara tekhnologi tinggi yang diintegrasikan dengan sistem pengamanan yang paling tradisional. Sehingga kalau misalnya ada orang yang mendapat sinyal (dari informasi) yang kita kirimkan, mereka tidak akan bisa membaca apa yang kita kirimkan. Ini contoh yang paling sederhana; Salah satu pengamanan yang paling tradisional adalah dengan menggunakan sandi, misalnya Morse. Jadi dulu Kepala Sandi Negara kita yang pertama pak Kertopati, setiap mengirimkan berita itu langsung diketik pake Morse lalu di-sandi lagi. Sehingga ketika (ada) orang yang (menyadap) menerima berita itu tidak akan bisa baca isinya,” ungkap Brigjen Sisriadi.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menambahkan agenda pertemuan lainnya kedua menhan adalah untuk mendata kembali kerja sama bidang pertahanan yang pernah diteken. Di antaranya adalah kerja sama trilateral antara Indonesia-Australia-Timor Leste dan Australia-Indonesia-India. Salah satu topiknya adalah soal kerja sama pengelolaan bersama Samudera Hindia.
Konferensi pers dari Menhan Purnomo Yusgiantoro ini, tidak dihadiri oleh Menhan Australia David Johnston yang langsung pergi usai pertemuan.
Isu penyadapan muncul beberapa hari belakangan, setelah media Australia Sydney Morning Herald menurunkan berita soal penyadapan Australia dan Amerika Serikat terhadap Indonesia berdasarkan keterangan dari mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA) Edward Snowden.
Sydney Morning Herald menyebut ada pos penyadapan di dalam gedung Kedutaan AS dan Australia di Jakarta. Sementara itu, harian Inggris The Guardian menulis bahwa Badan Intelijen Australia sudah menyadap Indonesia sejak tahun 2007 ketika RI menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim PBB di Nusa Dua, Bali.
Terkait hal ini Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri telah menyatakan protes kerasnya dan meminta penjelasan resmi dari pemerintah Amerika Serikat dan Australia.
Johnston dalam pertemuan itu menjelaskan, bahwa isu penyadapan Indonesia oleh Badan Intelijen Australia (DSD) sudah memasuki ranah makro yang tidak lagi sebatas hubungan bilateral antar Kementerian Pertahanan, namun akan diselesaikan melalui jalur politik luar negeri oleh Kementrian luar negeri kedua negara.
Purnomo menambahkan, apa pun keputusan dari Kemlu terkait isu hubungan diplomatik kedua negara, maka Kemhan tinggal mengikuti saja. Hal itu lantaran penentu keputusan ada di tangan Kemlu.
Sementara itu seputar sistem pertahanan keamanan Indonesia, Purnomo Yusgiantoro memastikan sejauh ini masih dalam kondisi aman.
“Sistem yang kita punya, saya sudah pastikan dari para staf saya, para ahlinya. Sistem di kementrian pertahanan itu aman. Karena sistem kita itu menggunakan sistem pertahanan berlapis, di dalam Sistem Informasi Pertahanan Negara (Sisinfohaneg) kita,” kata Menhan Yusgiantoro.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal Sisriadi Iskandar menjelaskan sistem pengamanan pertahanan Indonesia, mengkombinasikan teknologi tinggi dan tradisional.
“Sistem formasi pertahanan kita aman. Karena direduksi dengan alogaritma yang kuat. Sistem kita tertutup tidak terhubung ke luar. Kita menggunakan antara tekhnologi tinggi yang diintegrasikan dengan sistem pengamanan yang paling tradisional. Sehingga kalau misalnya ada orang yang mendapat sinyal (dari informasi) yang kita kirimkan, mereka tidak akan bisa membaca apa yang kita kirimkan. Ini contoh yang paling sederhana; Salah satu pengamanan yang paling tradisional adalah dengan menggunakan sandi, misalnya Morse. Jadi dulu Kepala Sandi Negara kita yang pertama pak Kertopati, setiap mengirimkan berita itu langsung diketik pake Morse lalu di-sandi lagi. Sehingga ketika (ada) orang yang (menyadap) menerima berita itu tidak akan bisa baca isinya,” ungkap Brigjen Sisriadi.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menambahkan agenda pertemuan lainnya kedua menhan adalah untuk mendata kembali kerja sama bidang pertahanan yang pernah diteken. Di antaranya adalah kerja sama trilateral antara Indonesia-Australia-Timor Leste dan Australia-Indonesia-India. Salah satu topiknya adalah soal kerja sama pengelolaan bersama Samudera Hindia.
Konferensi pers dari Menhan Purnomo Yusgiantoro ini, tidak dihadiri oleh Menhan Australia David Johnston yang langsung pergi usai pertemuan.
Isu penyadapan muncul beberapa hari belakangan, setelah media Australia Sydney Morning Herald menurunkan berita soal penyadapan Australia dan Amerika Serikat terhadap Indonesia berdasarkan keterangan dari mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA) Edward Snowden.
Sydney Morning Herald menyebut ada pos penyadapan di dalam gedung Kedutaan AS dan Australia di Jakarta. Sementara itu, harian Inggris The Guardian menulis bahwa Badan Intelijen Australia sudah menyadap Indonesia sejak tahun 2007 ketika RI menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim PBB di Nusa Dua, Bali.
Terkait hal ini Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri telah menyatakan protes kerasnya dan meminta penjelasan resmi dari pemerintah Amerika Serikat dan Australia.