Sampah plastik di laut menjadi salah satu isu yang mengemuka dalam Konferensi Kelautan PBB di New York yang berlangsung mulai hari Senin (5/6). Setelah China, Indonesia disebut-sebut sebagai negara kedua penghasil sampah plastik terbesar di dunia, yang telah menimbulkan kerugian pada bidang perikanan, perkapalan, pariwisata, dan bisnis asuransi hingga 1,2 miliar dolar Amerika.
Hal ini disampaikan Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan dalam diskusi bersama perwakilan negara-negara ASEAN, yang diadakan di kantor Perutusan Tetap Republik Indonesia PTRI di New York.
“Jika kita tidak segera bergerak maka akan menimbulkan pengangguran, masalah kemiskinan dan sosial, dan berujung pada radikalisme dan terorisme,” ujar Luhut.
Atasi Sampah Plastik di Laut, Indonesia Buat Sejumlah Rencana Aksi
Kemenko Kemaritiman Indonesia – tambah Luhut – telah menganalisa dan membuat beberapa rencana aksi untuk mengatasi hal ini, antara lain kampanye mengubah perilaku masyarakat, mengurangi kebocoran berbasis lahan dan laut, mengurangi produksi dan penggunaan plastik, hingga meningkatkan mekanisme pendanaan, reformasi kebijakan dan penegakan hukum.
“Pada tingkat daerah kami bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk mengelola limbah dan meminta mereka mencegah pembuangan sampah plastik ke laut. Sementara pada tingkat nasional, kami melakukan kampanye untuk mengubah paradigma masyarakat tentang sampah; dan terutama lewat kurikulum di sekolah dimana kami mengajarkan generasi muda untuk menghormati wilayah pesisir dan menghentikan pemborosan energi.”
Beberapa tahun terakhir ini Indonesia memang semakin menggalakkan penggunaan tas plastik, mendorong penggunaan plastik dari bahan alternatif dan sedang mengkaji kemungkinan pemanfaatan limbah plastik untuk aspal jalanan. Sejak Februari 2016 lalu ada 22 kota yang secara tegas memberlakukan kebijakan tas plastik berbayar bagi warga yang masih ingin menggunakan plastik di pusat perbelanjaan. Warga diharuskan membayar antara 200 hingga 500 rupiah untuk setiap tas plastik yang mereka gunakan. Kebijakan ini sedang dikaji-ulang tahun ini karena banyak masukan – dan sekaligus kecaman – terkait manfaat dan pertanggungjawaban uang yang dihasilkan dari kebijakan plastik berbayar ini.
ASEAN Perlu Kebijakan yang Bisa Atasi Sampah Plastik di Laut Secara Signifikan
Kebijakan yang bisa lebih mengurangi sampah plastik di laut secara signifikan semakin diperlukan mengingat semakin besarnya jumlah sampah plastik di laut, yang 95% bahannya tidak bisa didaur ulang atau diurai lingkungan. Untuk itu Indonesia mendorong kepedulian negara-negara ASEAN dan Asia Timur untuk mengatasi masalah ini dan sekaligus mencapai pembangunan laut yang berkelanjutan.
“Secara strategis, kerjasama kelautan untuk menyelesaikan masalah plastik laut dapat menjadi fondasi yang kuat guna memperkuat kerjasama kelautan yang ada, serta menjembatani perbedaan pandangan negara-negara tersebut tentang pengelolaan limbah, seperti pelaksanaan proyek limbah ke energi, dan kerjasama investasi pengelolaan limbah,” ujar Luhut.
Pengelolaan limbah ke energi ditengari bisa menjadi sumber ekonomi baru yang merangsang keterlibatan sektor swasta yang bisa secara langsung menguntungkan masyarakat. Oleh karena itu “Indonesia meminta dukungan negara-negara ASEAN untuk memperkuat kerjasama, membangun kesadaran di kawasan, dan mendorong keterlibatan sektor swasta, lembaga penelitian dan gerakan akar rumput,” demikian tambah Luhut.
Indonesia Siap Jadi Tuan Rumah KTT Sampah Plastik di Laut
Pembahasan tentang sampah plastik di laut dalam konferensi di New York ini menurut rencana akan digunakan sebagai bahan KTT Sampah Plastik di Laut yang akan diselenggarakan di Bali bulan September mendatang. Menurut rencana KTT itu akan diikuti oleh negara-negara ASEAN, China, India, Jepang, Australia, Selandia Baru, Amerika, dan Rusia. [em]