Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian Ruddyard mengatakan Indonesia telah menyiapkan sejumlah kegiatan yang akan dilakukan saat Indonesia menjadi Presiden DK PBB pada Mei 2019 dan Agustus 2020. Menurutnya, Indonesia akan mengusung tema penjagaan perdamaian pada kepemimpinan Mei 2019. Sementara pada Agustus 2019, Indonesia akan mengusung tema penanggulangan terorisme.
"Ada beberapa kegiatan, yang pertama adalah debat terbuka. Kita akan selenggarakan open debate pada 7 Mei dengan tema Peace Keeping Operation. Nah ini merupakan signature event kita. Jadi tanggal 7 Mei ini adalah hari penting kita di Dewan Keamanan," jelas Febrian saat berjumpa dengan sejumlah jurnalis di Jakartam Kamis (28/3).
Febrian menambahkan Indonesia juga akan menginisiasi debat terbuka tentang perlindungan warga sipil dari konflik bersenjata dan menggelar diskusi informal tentang pendudukan ilegal Israel di Palestina. Di samping itu juga akan ada pameran foto di Markas Besar PBB dengan tema Investing in Peace dari tanggal 6-17 Mei 2019.
"Jadi ini isunya tentang Palestina pada diskusi informal. Kita akan mendengarkan para pembicara dari berbagai pejabat dan aktor yang terkait pendudukan ilegal khususnya dari isu kemanusiaannya," tambah Febrian.
Dan pada masa akhir kepemimpinan pertama, Indonesia nantinya akan menggelar pentas budaya seperti tarian Saman dari Aceh sebagai ajang promosi Indonesia.
Indonesia Perlu Tingkatkan Peran di DK PBB
Indonesia telah resmi menjadi menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB sejak 1 Januari 2019. Selama 3 bulan tersebut, Indonesia telah berkontribusi dalam pembahasan isu perdamaian di Palestina, tentang terorisme dan krisis Venezuela. Selain itu, Indonesia juga berkontribusi dalam perumusan resolusi tentang kerjasama PBB dan organisasi kawasan dalam memelihara perdamaian di Afrika.
Peneliti Politik Internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menilai kontribusi Indonesia selama 3 bulan tersebut belum optimal. Menurutnya, Indonesia masih bisa mengambil peran lebih dalam isu denuklirisasi antara Amerika Serikat dengan Korea Utara.
"Menurut saya Indonesia bisa ikut berperan dalam isu tersebut. Dalam arti bagaimana Indonesia menjadi fasilitator dalam proses perdamaian tersebut. Saya sebenarnya sudah sejak awal, ketika pertemuan mau direncakan di SIngapura. Saya sebenarnya berharap Indonesia menawarkan diri, tapi kemudian terlambat sudah diputuskan di Singapura dan Hanoi," tutur Elisabeth kepada VOA.
Elisabeth menambahkan Indonesia memiliki modal yang cukup kuat untuk menjadi fasilitator terkait persoalan nuklir antara Amerika Serikat dan Korea Utara. Sebab Indonesia merupakan negara yang tidak mengembangkan nuklir, sehingga bisa berdiri netral di antara kedua negara.
Selain itu, Indonesia juga memiliki pengalaman-pengalaman lain dalam menjadi fasilitator penyelesaian sejumlah konflik misal dalam sengketa Laut China Selatan. Apalagi, Indonesia selama ini selalu menjaga hubungan baik kepada semua negara. (sm/em)