Myanmar menjadi perhatian serius negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Sidharto R. Suryodipuro mengatakan sebagai ketua ASEAN tahun ini, Indonesia akan belajar dari pengalaman ketua-ketua sebelumnya, yakni Kamboja dan Brunei, dalam membantu menyelesaikan persoalan di Myanmar. Indonesia, menurutnya, akan mempelajari apa yang bisa dan jangan dilakukan.
Indonesia, tambahnya, akan melakukan komunikasi intensif dengan semua pihak di Myanmar untuk mencari solusi atas permasalahan yang terjadi di negara itu. Namun, untuk saat ini, kata Sidharto, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi belum memiliki rencana untuk melakukan kunjungan ke Myanmar.
Sidharto mengakui, persoalan Myanmar tergolong rumit. Ada situasi politik yang dipicu oleh kudeta tetapi ada juga masalah mendasar yang terkait dengan situasi kebangsaan, katanya Situasi Rohingya sendiri, menurutnya, merupakan bagian dari masalah kebangsaan di Myanmar.
ASEAN, kata Sidharto, menyerukan kepada pihak Myanmar untuk melakukan dialog dengan pihak-pihak yang bersebrangan demi kebaikan bangsa Myanmar secara keseluruhan. Ia menegaskan, upaya penyelesaian krisis Myanmar menjadi sangat penting, bukan hanya karena Indonesia menjadi ketua ASEAN tahun ini tetapi juga karena Myanmar bagian dari kawasan Asia Tenggara.
Konflik Myanmar, menurutnya, secara tidak langsung akan mempengaruhi stabilitas dan kemakmuran kawasan ASEAN.
“Ibu Menlu pada saat ini tidak ada rencana ke Myanmar. Mungkin nanti kalau ada kondisi yang dipenuhi. Kunjungan yang bisa berdampak positif pada proses dialog ketika para pihak (yang bertentangan) menunjukkan keberanian untuk memulai proses dialog di antara mereka. Mungkin pada saat itu, bisa dipertimbangkan untuk melakukan kunjungan,” kata Sidharto.
Sidharto mengungkapkan, tim utusan khusus sudah terbentuk dan ditujukan untuk membantu Menlu Retno. Meski demikian, dia enggan menjelaskan siapa saja yang masuk dari tim tersebut.
ASEAN akan menyelenggarakan sejumlah pertemuan, termasuk KTT, pada tahun ini. Namun, Sidharto mengatakan, pada saat ini, Indonesia menilai tidak ada pihak di Myanmar yang memiliki legitimasi untuk hadir pada tingkat politik. Undangan untuk berpartisipasi, katanya, akan diberikan kepada perwakilan non politik.
Alasan utamanya, kata Sidharto, konsensus lima poin yang dibuat para pemimpin negara-negara anggota ASEAN pada April 2021 hingga kini belum dilaksanakan oleh Myanmar. Lima poin yang dimaksud adalah dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan dan pengiriman utusan khusus ke Myanmar.
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadajaran Arfin Sudirman menjelaskan kebijakan luar negeri Indonesia sejak lama memang antikonflik. Sebagai negara senior di ASEAN, Indonesia selalu terlibat dalam upaya menyelesaikan konflik di lingkungan Asia Tenggara, seperti Filipina Selatan, Thailand Selatan, dan sekarang Myanmar.
"Tinggal bagaimana Indonesia bisa meyakinkan Myanmar agar ketergantungannya pada investasi China itu tidak terlalu besar. Investasi infrastruktur China itu memang besar di ASEAN, termasuk di Indonesia, Myanmar. Hanya saja sistem politik yang ada di China tidak boleh diikuti. Saya pikir China bisa memahami itu," tutur Arfin.
Sebab, katanya, China tidak seperti Barat yang mengharuskan negara tempatnya berinvestasi melakukan demokratisasi.
Arfin menyebutkan prioritas pertama Indonesia sebagai ketua ASEAN adalah mendorong pihak-pihak yang bertentangan di Myamar mengimplementasikan konsensus lima poin. Menurutnya, Indonesia harus memastikan demokrasi dan hak asasi manusia ditegakan kembali di Myanmar. Isu Rohingya, kata Arfin, juga harus menjadi perhatian.
Arfin yakin di bawah kepemimpinan Indonesia, ASEAN akan mencapai kemajuan penting dalam penyelesaian masalah Myanmar. Apalagi Indonesia sudah berpengalaman dalam membantu penyelesaian konflik di negara-negara ASEAN lainnya. [fw/ab]
Forum