Pemerintah akan memusnahkan jutaan ayam untuk mengatasi naik turunnya pasokan di pasar daging lokal yang disebabkan karena dorongan swasembada – sebuah perkembangan terbaru dalam kebijakan-kebijakan pangan yang telah menjadi bumerang bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sejak menjabat Oktober lalu, Presiden telah mengejar target swasembada pangan untuk melindungi para petani, namun hasilnya seringkali berupa harga-harga yang tidak stabil dan kekhawatiran investor, sehingga menggerus dukungan untuk pemerintah.
Keengganan mengimpor beras telah membuat harga-harga grosir termasuk yang paling tinggi di wilayah ini tahun ini, sementara penundaan pengeluaran izin impor tebu membuat banyak pabrik gula tutup.
Masalah-masalah dalam pasar daging mulai ketika Indonesia mengurangi impor-impor ternak hidup pada kuartal ketiga, memaksa konsumen untuk pindah ke unggas dan mendorong harga rata-rata ayam broiler ke Rp 20.250 per kilogram mulai September, naik 15 persen dari harga rata-rata paruh pertama tahun ini.
Lonjakan itu terjadi meski ada fakta bahwa hasil produksi sudah melebihi permintaan sampai 30 persen. Harga-harga telah turun sekarang, dengan harga unggas hidup di peternakan berkisar antara 12-18 persen di bawah harga produksi.
“Konsumsi kita lebih rendah dari produksi,” ujar Srie Agustina, direktur jenderal perdagangan domestik pada Kementerian Perdagangan. “Ada kelebihan pasokan, jadi harus ada manajemen, kontrol.”
Untuk menjamin harga-harga stabil, pemerintah berencana memusnahkan enam juta ayam pembibit mulai minggu ini, menurut sumber-sumber industri.
“Pemerintah adalah wasit dari pemusnahan ini,” ujar Krissantono, ketua umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Indonesia.
“Menaikkan konsumsi bukan hanya terkait meningkatkan kapasitas produksi,” tambahnya. “Ini juga terkait dengan apakah konsumen dapat menyerap produk tersebut. Itu tidak dihitung secara hati-hati waktu itu.”
Peternak Kecil Terhantam Perang Harga
Harga-harga unggas yang lebih rendah telah membuat banyak peternak kecil bangkrut, menurut para analis. Perusahaan-perusahaan besar seperti PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Malindo Feedmill Tbk dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk memiliki kapasitas lebih baik untuk menghadapi badai.
"Pemusnahan itu untuk mempertahnkan harga-harga unggas lebih tinggi karena adanya perang harga akibat pasokan yang berlebihan," ujar analis riset Michael Setjoadi dari PT Bahana Securities di Jakarta.
Saat ini bernilai lebih dari US$4 miliar per tahun, permintaan akan unggas di Indonesia berpotensi untuk tumbuh dari sangat rendah per konsumsi kapita per tahun yaitu 7-10 kilogram, jauh dibandingkan Malaysia yang mencapai 39 kilogram.
Hal ini telah mendorong raksasa komoditas seperti Cargill Inc dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk untuk masuk ke sektor unggas.
Indonesia juga berambisi menjadi eksportir unggas besar dan menggantikan Thailand sebagai pemimpin wilayah, namun hal ini memerlukan standar-standar sanitasi yang diterima para pembeli internasional dan harga yang lebih rendah.
Agustus lalu, pemerintah berhenti mengeluarkan izin impor untuk jagung yang dipakai dalam pabrik pakan ternak, seiring persiapan untuk pemberlakuan aturan yang hanya memperbolehkan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mengimpor jagung mulai 2016.
"Kondisi-kondisi ini telah menciptakan ekonomi biaya tinggi yang mendorong harga jual tinggi," ujar Desianto Budi Utomo, sekretaris jenderal Gabungan Pengusaha Makan Ternak (GPMT) dan direktur PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk.
"Ketidak efisienan semacam ini berimbas pada daya saing kami." [hd/eis]