WASHINGTON —
Indonesia ingin terus menggalakkan pembangunan demokrasi di ASEAN dengan keyakinan bahwa keamanan regional akan lebih terjamin jika negara-negara anggota mematuhi prinsip-prinsip demokrasi itu, ujar Rizal Sukma, Direktur Eksekutif dari Center For Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta.
Berbicara dalam seminar bertajuk “Demokrasi di ASEAN” di East West Center, Washington, DC, Kamis (4/4), Rizal mengatakan, ketika menjadi ketua ASEAN pada 2003, Indonesia mengedepankan gagasan agar ASEAN memulai kerjasama di bidang pembangunan demokrasi dan perlindungan serta penegakan hak asasi manusia.
Sejak itu, Indonesia telah melakukan banyak upaya untuk memastikan program-program demokrasi bisa berjalan di kawasan Asia Tenggara, ujarnya. Salah satu upaya itu adalah pembentukan Bali Democracy Forum, yang tidak hanya melibatkan negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga negara-negara di Asia-Pasifik lainnya.
“Indonesia mencoba mengkoordinasikan berbagai kegiatan di mana negara-negara yang sudah melakukan demokratisasi bisa berbagi pengalaman dengan negara-negara lain,” ujarnya.
Upaya lain Indonesia adalah dengan mendirikan Institute for Peace and Democracy (IPD/Lembaga Perdamaian dan Demokrasi) pada 2009 yang merupakan badan pelaksana Bali Democracy Forum. Lembaga yang merupakan bagian dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan Nasional ini bertujuan untuk mengimplementasikan berbagai program dalam bidang pembangunan demokrasi di kawasan Asia Tenggara dan Asia-Pasifik. Menurut Rizal, lembaga ini cukup aktif melaksanakan berbagai pelatihan di berbagai negara.
“Mereka cukup aktif memberikan training, misalnya bagi para anggota komisi pemilihan umum di Myanmar, dan sekarang juga melakukan banyak kegiatan untuk membantu proses lembaga-lembaga demokratik di Fiji,” ujar Rizal.
Bahkan tidak terbatas hanya di Asia-Pasifik, lembaga itu juga aktif menyelenggarakan berbagai dialog dan berbagi pengalaman dengan Mesir dan Tunisia, ujarnya. Ia menambahkan, dalam waktu empat tahun ini aktivitas maupun inisiatif pemerintah Indonesia cukup banyak. Namun dia mengakui bahwa sekarang harus mulai dilakukan mengenai pemberian dukungan langsung pada pembangunan demokrasi.
“Sekarang sudah mulai harus dipikirkan bagaimana mengkonsolidasikan program-program yang bersifat dukungan langsung pada proses pembangunan demokrasi, ketimbang hanya fokus pada diskusi, workshop, training, dan percakapan sebagai agenda utama dalam berbagi pengalaman,” ujar Rizal.
Untuk itu, mulai 2013 Indonesia akan mendorong dilakukannya lebih banyak program yang bersifat teknis, misalnya dalam kasus Burma, IPD akan membantu pemberdayaan komisi pemilihan umum dan komisi nasional HAM melalui berbagai pelatihan yang akan memberikan manfaat langsung bagi lembaga-lembaga di negara itu.
Rizal mengatakan selama ini pembangunan demokrasi menjadi fokus dalam agenda kerjasama ASEAN. Namun, kini Indonesia ingin mengaitkan aspek perdamaian dengan demokrasi, karena bagi negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi persoalan perdamaian menjadi sangat krusial. Dia memberikan contoh Indonesia dan Burma yang telah mengalami proses demokratisasi yang dibarengi oleh tantangan dalam perdamaian.
“Jadi dengan masuknya demokrasi ini perdamaian tidak berarti harus dikorbankan, tapi demokrasi justru dijadikan sebagai alat untuk menciptakan perdamaian dalam proses transisi,” ujarnya.
Rizal mengatakan mulai 2013 ini akan dilakukan upaya memasukkan dimensi perdamaian dalam proses pembangunan demokrasi di kawasan ASEAN. Dia mengatakan, melalui demokrasi diharapkan akan tercipta masyarakat madani yang terbuka bagi diskusi, komunikasi, dan saling pengertian lebih baik untuk mengatasi berbagai potensi konflik, termasuk sengketa perbatasan dan masalah-masalah geopolitik lainnya, demi perdamaian di kawasan Asia Tenggara.
Berbicara dalam seminar bertajuk “Demokrasi di ASEAN” di East West Center, Washington, DC, Kamis (4/4), Rizal mengatakan, ketika menjadi ketua ASEAN pada 2003, Indonesia mengedepankan gagasan agar ASEAN memulai kerjasama di bidang pembangunan demokrasi dan perlindungan serta penegakan hak asasi manusia.
Sejak itu, Indonesia telah melakukan banyak upaya untuk memastikan program-program demokrasi bisa berjalan di kawasan Asia Tenggara, ujarnya. Salah satu upaya itu adalah pembentukan Bali Democracy Forum, yang tidak hanya melibatkan negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga negara-negara di Asia-Pasifik lainnya.
“Indonesia mencoba mengkoordinasikan berbagai kegiatan di mana negara-negara yang sudah melakukan demokratisasi bisa berbagi pengalaman dengan negara-negara lain,” ujarnya.
Upaya lain Indonesia adalah dengan mendirikan Institute for Peace and Democracy (IPD/Lembaga Perdamaian dan Demokrasi) pada 2009 yang merupakan badan pelaksana Bali Democracy Forum. Lembaga yang merupakan bagian dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan Nasional ini bertujuan untuk mengimplementasikan berbagai program dalam bidang pembangunan demokrasi di kawasan Asia Tenggara dan Asia-Pasifik. Menurut Rizal, lembaga ini cukup aktif melaksanakan berbagai pelatihan di berbagai negara.
“Mereka cukup aktif memberikan training, misalnya bagi para anggota komisi pemilihan umum di Myanmar, dan sekarang juga melakukan banyak kegiatan untuk membantu proses lembaga-lembaga demokratik di Fiji,” ujar Rizal.
Bahkan tidak terbatas hanya di Asia-Pasifik, lembaga itu juga aktif menyelenggarakan berbagai dialog dan berbagi pengalaman dengan Mesir dan Tunisia, ujarnya. Ia menambahkan, dalam waktu empat tahun ini aktivitas maupun inisiatif pemerintah Indonesia cukup banyak. Namun dia mengakui bahwa sekarang harus mulai dilakukan mengenai pemberian dukungan langsung pada pembangunan demokrasi.
“Sekarang sudah mulai harus dipikirkan bagaimana mengkonsolidasikan program-program yang bersifat dukungan langsung pada proses pembangunan demokrasi, ketimbang hanya fokus pada diskusi, workshop, training, dan percakapan sebagai agenda utama dalam berbagi pengalaman,” ujar Rizal.
Untuk itu, mulai 2013 Indonesia akan mendorong dilakukannya lebih banyak program yang bersifat teknis, misalnya dalam kasus Burma, IPD akan membantu pemberdayaan komisi pemilihan umum dan komisi nasional HAM melalui berbagai pelatihan yang akan memberikan manfaat langsung bagi lembaga-lembaga di negara itu.
Rizal mengatakan selama ini pembangunan demokrasi menjadi fokus dalam agenda kerjasama ASEAN. Namun, kini Indonesia ingin mengaitkan aspek perdamaian dengan demokrasi, karena bagi negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi persoalan perdamaian menjadi sangat krusial. Dia memberikan contoh Indonesia dan Burma yang telah mengalami proses demokratisasi yang dibarengi oleh tantangan dalam perdamaian.
“Jadi dengan masuknya demokrasi ini perdamaian tidak berarti harus dikorbankan, tapi demokrasi justru dijadikan sebagai alat untuk menciptakan perdamaian dalam proses transisi,” ujarnya.
Rizal mengatakan mulai 2013 ini akan dilakukan upaya memasukkan dimensi perdamaian dalam proses pembangunan demokrasi di kawasan ASEAN. Dia mengatakan, melalui demokrasi diharapkan akan tercipta masyarakat madani yang terbuka bagi diskusi, komunikasi, dan saling pengertian lebih baik untuk mengatasi berbagai potensi konflik, termasuk sengketa perbatasan dan masalah-masalah geopolitik lainnya, demi perdamaian di kawasan Asia Tenggara.