Krisis pengungsi Muslim-Rohingya hingga kini belum terselesaikan. Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) mengatakan telah terjadi peningkatan jumlah kasus kematian pengungsi Rohingya yang berusaha melarikan diri melalui jalur laut yang berbahaya di Laut Andaman dan Teluk Benggala pada tahun 2022. Sedikitnya 348 orang tewas atau hilang ketika melarikan diri dari Myanmar atau Bangladesh melalui jalur laut pada tahun lalu.
Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia telah menerima tambahan 644 orang pengungsi Rohingya. Dengan tambahan ini, maka terdapat sekitar 1.500 migran etnis Rohingya teregistrasi di Indonesia. Memburuknya situasi di Myanmar saat ini semakin menyulitkan upaya menyelesaikan krisis Rohingya.
Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Sidharto R. Suryodipuro dalam jumpa pers, Kamis (19/1), menjelaskan Indonesia selalu mendorong pembahasan mengenai isu etnis minoritas muslim Rohingya di ASEAN dan forum-forum lain.
"Indonesia dan negara anggota ASEAN lain mendorong pemenuhan komitmen oleh otoritas Myanmar untuk menjamin keselamatan dan keamanan seluruh komunitas di Negara Bagian Rakhine," kata Sidharto.
Menurut Sidharto, Indonesia juga akan terus memperkuat peran ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan, memfasilitasi repatriasi etnis
Rohingya secara bermartabat dan memajukan pembangunan berkelanjutan di Negara Bagian Rakhine.
Persoalan di Rakhine, termasuk isu Rohingya, tambahnya, merupakan bagian dari masalah di Myanmar, sehingga memerlukan pendekatan yang komprehensif.
Indonesia: Belum ada Kebutuhan Mendesak Untuk Meratifikasi Konvensi 1951
Dalam konferensi pers itu, Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib mengatakan pemerintah sampai sekarang belum melihat ada kebutuhan yang mendesak untuk meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi.
Selain itu, untuk meratifikasi konvensi internasional memerlukan konsensus nasional dan sejauh ini tidak ada keinginan dari pemangku kepentingan nasional yang mendesak untuk melakukan ratifikasi.
Jika nantinya Indonesia meratifikasi Konvensi 1951, lanjut Achsanul, maka ada kewajiban untuk melaksanakan semua mandat dari konvensi tersebut.
"Salah satu mandat yang utama adalah kewajiban negara pihak (yang meratifikasi Konvensi 1951) untuk melakukan integrasi sosial. Artinya kita harus bersedia untuk menerima siapapun pengungsi yang datang dari negara manapun, dan kemudian diintegrasikan ke dalam sistem sosial politik nasional, termasuk diberikan hak-hak yang sama, kewarganegaraan, hak dalam pekerjaan, dan sebagainya," ujar Achsanul.
Achsanul menambahkan kecenderungan yang terjadi saat ini adalah negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi 1951 tidak secara otomatis menerima kedatangan para pengungsi asing. Negara-negara itu tetap saja menyeleksi calon pengungsi sehingga menimbulkan penumpukan pengungsi di negara transit dan menjadi beban masalah bagi UNHCR (Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi).
Menurutnya, sejak 15 November 2022 hingga 8 Januari 2023, terdapat 644 orang etnis Rohingya yang tercatat mendarat di Aceh, sebagian besar merupakam korban sindikat perdagangan orang.
Dia menegaskan Indonesia adalah negara transit bagi pengungsi Rohingya. Tetapi motifnya kini bukan lagi karena ingin menyelamatkan diri, tetapi karena mereka ingin mencari pekerjaan yang lebih baik, atau bertemu dengan anggota keluarga yang telah lebih dulu mengungsi ke negara lain.
Oleh karena itu pemerintah Indonesia, ujar Achsanul, akan memusatkan perhatian pada upaya peningkatan kapasitas negara-negara di kawasan untuk mencegah adanya penggunaan jaringan penyelundup yang mengeksploitasi para pengungsi Rohingya.
Sebagian Pengungsi Rohingya di Aceh Sudah Terdaftar Sebagai Pengungsi di Bangladesh
Berkaitan dengan adanya pengungsi Rohingya yang tewas di laut akibat kapal yang mereka tumpangi tenggelam, menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah, menjadi keprihatinan bersama banyak pihak. Karena itulah, UNHCR harus memastikan ada negara ketiga yang bersedia menerima para pengungsi Rohingya sebelum menuju negara tujuan.
Dari kasus-kasus yang ditemukan di Aceh, lanjutnya, orang Rohingya tersebut sudah terdaftar sebagai pengungsi sehingga mereka sepatutnya tetap tinggal di negara sebelumnya, yakni Bangladesh, dan tidak mengambil risiko meninggalkan Bangladesh dan menjadi korban sindikat perdagangan orang.
Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna mengatakan lembaganya mengapresiasi pemerintah daerah di Aceh yang bersedia menerima kedatangan pengungsi Rohingya. Dia berharap ada satuan tugas untuk menangani para pengungsi Rohingya masuk ke Aceh.
Keberadaan satuan tugas itu penting agar penanganan pengungsi Rohingya di Aceh teroordinasi dengan baik.
"Sudah 25 kali pengungsi, terutama Rohingya, terdampar di Aceh kalau kita hitung berdasarkan data Kontras Aceh sejak tahun 2009 sampai 2023. Itu kan bukan angka yang kecil. Angka yang kita terima lebih dari seribu (pengungsi Rohingya)," tutur Husna.
Husna menegaskan banyaknya pengungsi Rohingya di Aceh telah menimbulkan persoalan sosial, yakni gesekan dengan penduduk setempat jika para pengungsi tidak menghormati adat dan budaya Aceh. Untuk itu perlu ada aturan khusus untuk menangani para pengungsi Rohingya di Aceh atau merevisi Keputusan Presiden Nomor 125 Tahun 2006 tentang penanganan pengungsi yang tidak komprehensif.
Selama ini penanganan terhadap pengungsi Rohingya di Aceh dilakukan bersama-sama antara organisasi non-pemerintah dan pemerintah daerah setempat, namun tidak berlangsung secara terkoordinasi sehingga terjadi tumpang tindih. [fw/em]
Forum