Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mencatat peningkatan yang mengkhawatirkan dalam jumlah kasus kematian pengungsi Rohingya yang berusaha melarikan diri melalui jalur laut yang berbahaya di Laut Andaman dan Teluk Benggala pada tahun 2022.
Sedikitnya 348 orang tewas atau hilang ketika melarikan diri dari Myanmar atau Bangladesh melalui jalur laut pada tahun lalu, menjadikannya tahun yang paling mematikan sejak 2014. Pada saat itu, lebih dari 700 orang dilaporkan tewas atau hilang dalam upaya putus asa untuk mencari perlindungan dari aksi penganiayaan di kampung halaman mereka.
UNHCR mengatakan lebih dari 3.500 warga Rohingya mencoba menyeberangi laut yang berbahaya pada tahun 2022. Pada tahun sebelumnya, sekitar 700 orang mencoba melakukan hal serupa.
Juru Bicara UNHCR Shabia Mantoo mengatakan, peningkatan signifikan jumlah orang yang bersedia mempertaruhkan hidup mereka itu menjadi penanda betapa putus asanya warga Rohingya yang tidak menemukan jalan keluar dari kesengsaraan mereka.
“Seperti kami katakan sebelumnya, kami menerima laporan dari Rohingya tentang meningkatnya rasa putus asa dan kecemasan tentang masa depan. Dan benar-benar tidak ada harapan untuk mendapatkan keamanan, perlindungan,” kata Mantoo.
“Beberapa di antara mereka berniat berkumpul kembali dengan keluarga mereka, sementara yang lainnya, kerentanan mereka dieksploitasi para pelaku perdagangan dan penyelundupan manusia yang memikat mereka dengan janji-janji sekaligus harapan palsu.”
Mantoo mengatakan, sebagian besar dari 39 kapal yang berlayar mengarungi lautan berbahaya tahun lalu berangkat dari Myanmar dan Bangladesh, menyoroti keputusasaan warga Rohingya di kedua negara tersebut.
Dalam dua bulan terakhir tahun 2022, ia mengatakan bahwa empat kapal yang mengangkut lebih dari 450 warga Rohingya berlabuh di Aceh, Indonesia, sementara satu kapal lain yang mengangkut 100 orang berlabuh di Sri Lanka. Mantoo menambahkan, satu kapal yang membawa 180 warga Muslim Rohingya, dikhawatirkan telah tenggelam pada awal Desember.
“Seruan UNHCR kepada otoritas maritim di wilayah itu untuk menyelamatkan dan melabuhkan orang-orang yang dililit kesulitan itu telah diabaikan atau tidak dipatuhi, terbukti dengan banyaknya kapal yang terombang-ambing selama berminggu-minggu… UNHCR mengulangi seruannya agar dilakukan upaya pencarian dan penyelamatan sesegera mungkin dan diturunkannya penumpang dari kapal di tempat yang aman, serta dukungan kepada negara-negara di mana pengungsi Rohingya berlabuh,” kata Mantoo.
Pada Agustus 2017, lebih dari 750.000 warga Muslim Rohingya yang menjadi target kekerasan dan penganiayaan di Myanmar melarikan diri ke Cox’s Bazaar di Bangladesh. Mereka tinggal di tenda-tenda pengungsian yang penuh sesak bersama ratusan ribu pengungsi lainnya yang telah melarikan diri dari Myanmar sebelum mereka.
UNHCR menyebut kondisi di Myanmar belum membaik dan tidak aman bagi mereka untuk kembali ke negara yang memandang mereka sebagai imigran ilegal dan menolak memberi mereka kewarganegaraan. [rd/ka]
Forum