Sejak diumumkan ke khalayak tahun 2019, Raya and the Last Dragon (selanjutnya disebut Raya) telah didengungkan sebagai film animasi yang terinspirasi budaya Asia Tenggara. Di samping Kelly Marie Tran – aktris Amerika keturunan Vietnam pemeran Raya, kedua penulis skenario, Adele Lim dan Qui Nguyen, juga berdarah Asia Tenggara.
Di sepanjang film, penonton Indonesia dimanjakan berbagai tampilan audio-visual dengan referensi budaya yang tidak asing, seperti kesenian wayang kulit, gamelan, buah kelengkeng, struktur atap rumah gadang, hingga pedang menyerupai keris yang jadi senjata andalan Raya.
Kemunculan elemen-elemen tersebut nyatanya tidak lepas dari peran sejumlah konsultan budaya asal Indonesia yang terlibat dalam film besutan Disney itu.
“Saya bagian bahasa,” kata Juliana Wijaya, ahli bahasa sekaligus Presiden Dewan Pengajar Bahasa-Bahasa Asia Tenggara di AS, saat diwawancarai VOA melalui Zoom (11/3).
Ini pertama kalinya ia dilibatkan sebagai konsultan budaya untuk proyek sebesar Raya. Juliana bercerita, dirinya dihubungi tim Disney pada April 2019, “Mungkin karena saya di UCLA dan terlibat di Centers for Southeast Asian Studies UCLA.”
Juliana dilibatkan untuk memastikan kesesuaian istilah-istilah yang dipakai film fantasi itu dengan konteks budaya di Asia Tenggara.
“Mereka punya tim kreatif yang menciptakan bahasa,” ujarnya. “Mereka mengirim ke saya, ‘ini ada beberapa pilihan (kata), yang mana yang paling baik?’ Saya bisa melakukan riset untuk melihat apakah kata-kata itu ofensif atau tidak.”
Perannya tidak hanya sampai di situ, ia juga membantu tim Disney menciptakan aksara fiktif yang muncul dalam Raya. Ia memberikan pemahaman kepada tim kreatif tentang perbedaan goresan dan lekuk huruf asal negara-negara di Asia Tenggara dengan aksara dari wilayah lain.
Satu hal yang ia jadikan pedoman selama memberikan konsultasi tersebut: “Mereka bilang, ‘jangan lupa bahwa ini fantasi.’” Meski terinspirasi budaya Asia Tenggara, elemen-elemen yang muncul dalam Raya diminta agar tidak secara jelas merujuk pada satu kebudayaan tertentu.
Hal yang sama menjadi pegangan dua sosok Indonesia lainnya yang terlibat dalam proyek Raya: Emiko Saraswati Susilo dan Dewa Putu Berata.
“Saya masih ingat sekali waktu Osnat (produser Raya, Osnat Shurer -red) bilang, ‘film ini harus tidak menunjukkan satu tempat,’” ungkap Dewa dalam wawancara Skype dengan VOA, Jumat (5/3).
Dewa dan Emiko adalah pasangan seniman dari Sanggar Seni Çudamani, yang berbasis di California, AS, dan Gianyar, Bali. Dewa dikenal dengan keahliannya menciptakan komposisi gamelan. Ia juga telah membawa sanggar yang didirikannya tampil di berbagai panggung dunia.
Sementara Emiko, yang lahir dan besar di Los Angeles, California, telah mendalami seni tari Bali dan Jawa sejak lama. Kini, dirinya ikut memimpin Sanggar Çudamani sebagai pengajar dan koreografer.
“Filmnya fantasi, seperti petualangan fantasi golongannya. Jadi, seperti Pak Dewa katakan tadi, memang saya kira dia mencari benang merah antara (budaya-budaya di) Asia Tenggara,” timpal Emiko dalam wawancara yang sama.
Observasi Budaya Indonesia
Tugas pertama Dewa dan Emiko, setelah bergabung dengan tim konsultan budaya Raya pada Februari 2019, adalah mengorganisasi kunjungan tim Disney ke Bali. Keduanya lantas membawa kru film itu ke kampung halaman Dewa di Banjar Pengosekan, Gianyar, di mana mereka mengikuti berbagai kegiatan – dari upacara adat, demo pencak silat hingga lokakarya gamelan.
“Mereka melihat tingkatan-tingkatan kejadian, dari yang paling sakral di dalam pura, di tengah hingga di luar. Saya kira mereka melihat bagaimana orang menempatkan diri,” kenang Dewa.
Para kru, kata Dewa, tak lupa untuk melukis apa yang mereka lihat selama kunjungan tersebut. Mereka yang ikut dalam rombongan itu, antara lain sutradara John Ripa dan Paul Briggs, pengarah artistik Helen Chen dan Shiyoon Kim, serta head of story Fawn Veerasunthorn.
Emiko menuturkan, “Mereka mengunjungi Bali untuk mengetahui budaya, merasakan bagaimana kehidupan (warga), upacara dan keluarga di Bali.”
Setelah menyelesaikan observasi di Pulau Dewata serta dua negara lainnya, Kamboja dan Laos, Dewa dan Emiko kembali membuat lokakarya gamelan dan kecak bagi tim yang terlibat di studio animasi Disney di Burbank, Los Angeles. Di sana, keduanya juga memperagakan berbagai gestur khas orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari untuk kembali direkam dan dilukis sebagai referensi, selain tentunya memberikan konsultasi di sepanjang proses pembuatan film.
“Kadang-kadang mereka menunjukkan sekelumit adegan, menanyakan ‘Apakah ini sesuai dengan sopan santun?’ atau ‘Apakah benar cara memegang senjatanya?’” tutur Dewa.
Yang jelas, Emiko terkesan dengan keseriusan tim yang terlibat untuk memastikan keakuratan referensi budaya dengan animasi yang mereka garap.
“Gerakan badan kita juga (mengandung) banyak komunikasi, kan? Dan gerak-gerik orang Indonesia berbeda dengan gerak-gerik orang Amerika,” paparnya. “Sering kita bicarakan detil yang sangat kecil, ya lewatnya (di depan layar) hanya 2-3 detik, tapi penting sekali bagi saya – bagi kita semua saya kira. Akan ada rasa, ‘Itu asli Asia Tenggara atau gambaran saja?’”
Pemilihan Nama ‘Raya’ dan Indonesia
Seperti Emiko, Juliana Wijaya juga kagum dengan upaya studio film raksasa yang terkenal dengan karakter para putrinya itu dalam membuat kisah dan penggambaran Raya yang dekat dengan budaya Asia Tenggara, meskipun tidak spesifik mengangkat budaya Indonesia.
“Kalau kita pikirkan hanya Indonesia saja – sementara banyak sekali negara-negara di Asia Tenggara – kapan kita masuk?” ujarnya.
Pemilihan kata ‘Raya’ – yang familiar di telinga orang Indonesia – sebagai nama karakter utama dalam film animasi itu sendiri tak lepas dari peran Juliana.
“Mereka memberi saya beberapa kata, lalu saya mengatakan, ‘OK, kalau ini artinya ini… ini kemungkinan artinya dekat dengan ini.’ Lalu, saya memilih ‘Raya’,” ungkapnya. “Karena, pertama… ya saya orang Indonesia.”
Selain ‘Raya’, terdapat beberapa kata lain yang dipertimbangkan Disney untuk menamai karakter utama film itu, termasuk ‘Kaya’, “Aduh… kalau ‘Kaya’ ini artinya rich ya, jadi tidak menjangkau banyak orang,” jelasnya.
Meski demikian, perlu waktu berbulan-bulan hingga akhirnya Disney resmi menjatuhkan pilihan pada nama ‘Raya’ – sebuah momen yang amat berkesan bagi Juliana.
“Saya waktu itu lagi di Indonesia, baru sampai, lagi jetlag, masih jam tiga pagi, saya ditelepon,” ungkapnya. “Scott (penasihat produksi Raya, Scott Sakamoto -red) mengatakan, ‘Juliana, dewan (pimpinan Disney) akan menggelar pertemuan dalam satu jam untuk menentukan nama karakternya. Apakah kamu setuju dengan nama ‘Raya’?’”
Ia bercerita bahwa dirinya sulit berkonsentrasi dini hari itu, pasalnya Scott tidak sadar bahwa Juliana tidak sedang berada di Amerika.
“Saya masih jetlag, ‘Ini siapa ya? Terus yang mau dibicarakan itu siapa? Naganya ya?’” kenangnya. Lalu, Scott menjawab, “‘Bukan. Karakter utama: Raya.”
Juliana lantas tersadar, “Oh ya, ‘Raya’!” dan mengatakan, “Ya, saya approve!”
Ia senang bukan main karena nama pilihannya terpilih menjadi nama karakter utama animasi itu, karena “memang artinya paling bagus.”
“’Raya kan ‘merayakan’, saya bilang begitu. Jadi, raya itu kalau di Indonesia artinya grand, kemudian merayakan itu to celebrate,” paparnya, “Dan penulis skenarionya kan dua, Qui Nguyen dan Adele Lim – Adele kan orang Malaysia, dia bisa bahasa Melayu – dia juga setuju.”
Terinspirasi Rasa Kebersamaan di Indonesia
Dalam perbincangan melalui Skype dengan VOA, Kamis (11/3), Adele Lim, penulis skenario Raya yang berasal dari Malaysia, sangat senang mendapatkan kesempatan untuk menulis sebuah cerita dengan nuansa Asia Tenggara yang sangat kental.
“Terkadang mudah bagi kita yang tumbuh di Malaysia atau Indonesia untuk merasa bahwa dunia mungkin tidak benar-benar memahami atau melihat kita. Maka itu, rasanya selalu menyenangkan ketika mereka datang melihat langsung dan memahami keindahan dan kekayaan kita,” ujar Adele yang sebelumnya menulis skenario film Crazy Rich Asians.
Kekayaan yang ia maksud, terutama, adalah rasa kebersamaan yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal itu jelas ia lihat saat mengikuti lokakarya gamelan yang digelar Dewa dan Emiko di studio Disney.
“Ketika mereka membawa masuk gamelan, para pemain dan penarinya, yang kita lihat bukan hanya tentang kesenian yang mereka pertunjukkan ke dunia, tetapi juga tentang bagaimana mereka sebagai sebuah keluarga saling terhubung satu sama lain, bagaimana mereka dan para penampil saling terkait satu sama lain, dan bagaimana mereka benar-benar mampu menciptakan keselarasan antara eratnya hubungan sebagai sebuah keluarga, sebuah komunitas, dengan bagaimana Anda tampil sebagai sebuah kesatuan,” paparnya.
Rasa kebersamaan itu juga Adele rasakan dalam visualisasi kisah Raya, yang ia sebut dikerjakan oleh banyak seniman Disney keturunan Asia Tenggara, termasuk mereka yang berdarah Indonesia, yang tumbuh dalam lingkungan rumah tangga khas Asia Tenggara.
“Seringkali tim pengembangan visual – tim ahli kami – melibatkan diri, tapi banyak di antara sentuhan yang muncul juga berasal dari para storyboard artist, banyak di antaranya dari Indonesia, baik itu Griselda Sastrawinata atau Luis Logam, yang bisa menuangkan jati diri mereka seutuhnya ke dalam bentuk visual, bahkan tanpa harus diminta dulu sebelumnya melalui naskah,” jelas Adele.
Rasa kebersamaan itu jugalah yang menjadi tema utama kisah Raya, yang dipandang Disney sebagai nilai utama yang menjadi benang merah beragam budaya di Asia Tenggara.
Adele mengatakan, “Yang kami cari bukan sekadar tampilan luarnya – mengambil apa yang kelihatan indah dan menggunakannya dalam film, tapi lebih mendalam dari itu. Yang kami benar-benar ‘baca’ dari banyak negara dan budaya di Asia Tenggara adalah rasa kebersamaannya.”
Raya and the Last Dragon menceritakan petualangan Raya di negeri Kumandra, sebuah negeri dongeng yang dahulu kala ditinggali manusia dan para naga secara berdampingan. Sambil ditemani – dan menunggangi – hewan peliharaannya yang tampak seperti percampuran anjing dan serangga armadillo (pillbug) bernama Tuk-Tuk, Raya mencari naga terakhir yang bisa membantunya menyatukan kembali warga Kumandra yang terpecah belah dan menyelamatkan mereka dari kawanan monster tak berwajah, yang telah mengubah ayah Raya dan banyak warga lainnya menjadi arca.
Raya tayang di bioskop sejak awal Maret lalu. [rd/ab]