Penulis Indonesia, Jesse Q. Sutanto, tak menyangka novelnya yang berjudul ‘Dial A for Aunties’, yang baru akan terbit tahun depan, akan langsung diadaptasi menjadi film oleh rumah produksi sekaligus penyedia layanan streaming, Netflix.
“Sampai sekarang saya masih tidak percaya,” ungkap Jesse kepada VOA Indonesia dalam wawancara melalui Skype (16/11).
“Semua ini sungguh misterius. Agen saya mengirim novel saya ke penerbit, dan dalam sepekan pertama sejak ia melakukannya, ia terus mendapat telepon dari agen perfilman,” ujarnya, “Saat ia bertanya, ‘Anda tahu dari mana soal buku ini?’ Mereka tidak mau membocorkan sumber mereka, jadi kami juga tidak tahu.”
Jesse bercerita setidaknya empat rumah produksi kemudian menghampirinya. Namun, setelah melalui pelelangan, ia menjatuhkan pilihan pada Netflix, yang ia anggap “platform yang tepat untuk kisah ini.”
Sulitnya ‘Menjual’ Kisah Indonesia di Hollywood
Jesse Q. Sutanto adalah nama baru dalam dunia penulisan di Indonesia. Peraih gelar master dalam bidang penulisan kreatif dari Universitas Oxford pada tahun 2009 itu sudah menulis beberapa novel, yang seluruhnya berbahasa Inggris.
Namun, baru setelah menyelesaikan novel ke-delapan ia memperoleh kesepakatan dengan penerbit Amerika untuk mempublikasikan salah satu novelnya, The Obsession, yang akan terbit Februari 2021. Dial A for Aunties sendiri baru akan terbit April mendatang melalui penerbit berbeda.
“Saya sudah mencoba selama kurang lebih 10 tahun. Dial A for Aunties adalah buku saya yang ke-sembilan. Butuh waktu lama sampai akhirnya ada yang mau menerbitkan buku saya. Dan sekalinya buku saya terjual, rasanya jadi semakin mudah untuk menjual buku-buku lainnya,” ungkap Jesse.
"Dial A for Aunties" bercerita tentang sosok Meddelin Chan, perempuan Indonesia keturunan China, yang tanpa sengaja membunuh kencan butanya. Sang ibu dan para tantenya yang suka ikut campur lantas membantunya melenyapkan mayat pria itu di tengah pesta pernikahan mewah khas Indonesia yang dihadiri ribuan tamu undangan di sebuah pulau di dekat California, AS. Pada saat bersamaan, Meddelin juga dibuat galau ketika mantan kekasihnya muncul kembali di tengah kekacauan itu.
“Ceritanya seperti Crazy Rich Asians dipertemukan dengan Weekend at Bernie’s,” ujar Jesse.
Ide itu bermula tak jauh dari kehidupan keluarga besarnya di Jakarta yang ia akui sangatlah dekat.
“Kami selalu mengobrol, kami punya grup WhatsApp, kami kerap berdebat dan bertengkar, tapi pada dasarnya kami saling menyayangi dan sangat peduli dengan satu sama lain, dan bila salah satu di antara kami sedang kesusahan, yang lain pasti akan datang membantu, seperti halnya cerita dalam buku saya,” jelasnya.
Akan tetapi, bukan perkara mudah untuk menjual kisah berlatar Indonesia kepada penerbit asing. Ketidaktahuan mereka akan Indonesia seringkali menjadi rintangan yang harus dihadapi Jesse.
“Salah satu buku saya, buku ke-tujuh, berlatar di Indonesia. Mantan agen saya mengirimkannya ke penerbit, lalu mereka mengatakan, ‘Bolehkah kamu mengubah latarnya menjadi Amerika? Karena ini agak terlalu asing,’” ungkap Jesse, yang mengaku sakit hati saat mendengar itu, “Saya rasa bagi kita, khususnya orang Asia Tenggara, kita perlu sangat bersabar dan bekerja lebih keras dari pada yang lainnya, bahkan hanya demi mempertahankan identitas kita sendiri.”
Jesse tidak menyerah. Selain Dial A for Aunties dan The Obsession, setidaknya empat buku lain karyanya sudah antre untuk diterbitkan dalam tiga tahun ke depan: satu buku bergenre dewasa muda (Young Adult), sekuel kisah Dial A for Aunties, novel berjudul Theo Tan and the Fox Spirit serta sekuel dari Theo Tan.
“Saya sebetulnya baru saja menyelesaikan satu buku baru yang kali ini latarnya benar-benar di Indonesia – di Jakarta dan Bali, saya senang sekali. Saya baru mengirimkannya ke agen saya, moga-moga ia cukup senang untuk mau mengirimkannya ke penerbit,” ujarnya.
Adaptasi Dial A for Aunties dan Artinya Bagi Perfilman Indonesia
Jesse duduk sebagai produser eksekutif dalam proyek adaptasi film dari novelnya, sementara sutradara serial TV Fresh Off the Boat dan film Always Be My Maybe, Nahnatchka Khan, akan mengarahkan filmnya.
Jesse mengaku tidak menulis skenario Dial A for Aunties.
“Saya tidak tahu cara menulis skenario film, tapi saya sudah mengobrol dengan penulisnya, dan ia pun meminta saya mengiriminya daftar kata dan istilah dalam bahasa Indonesia yang biasa kita ucapkan, seperti ‘Aduh…’ atau ketika makan, orang akan bilang ‘Ayo makan, makan…’” ungkapnya.
Saat ditanya apakah wajah aktor dan aktris Indonesia akan muncul dalam filmnya, Jesse mengatakan, “Oh Tuhan, semoga ya. Sebenarnya, ketika The Hollywood Reporter pertama kali memberitakan soal adaptasi Netflix, saya dihubungi cukup banyak sineas Indonesia, para aktor, pekerja set… Saya bilang bahwa saya tidak punya wewenang untuk melakukan casting, tapi saya pasti akan menyampaikannya ke agen film saya, karena saya ingin lebih banyak orang Indonesia terlibat dalam film ini.”
Jesse merasa ini saat yang tepat bagi sineas Indonesia tampil di muka dunia, karena “kita punya banyak sekali insan kreatif yang seringkali diabaikan”.
Sentimen yang sama diungkapkan Endah Redjeki, pencetus Los Angeles-Indonesia Film Festival. Setelah kesuksesan komersial film Crazy Rich Asians, yang diangkat dari novel dengan judul sama karya Kevin Kwan, disusul film Korea Selatan, Parasite, yang meraih gelar Film Terbaik di ajang Piala Oscar tahun 2020, Endah melihat momen ini sebagai kesempatan yang harus dimanfaatkan sineas-sineas Asia, khususnya Indonesia.
Meski demikian, Endah mengaku ada satu ganjalan bagi film Indonesia untuk bisa menembus Hollywood.
“Kekurangan kita untuk perfilman Indonesia adalah dana. Dana untuk mempromosikan film Indonesia. Istilahnya, kalau misalnya film Indonesia itu dananya besar untuk promosi, aku yakin banget Indonesia nggak akan kalah dengan film yang ada di Hollywood,” ujar Endah melalui sambungan Skype (19/11).
Tantangan lain yang harus dihadapi pekerja film Indonesia untuk bisa menaklukkan Hollywood adalah masalah koneksi, menurut pengamat film sekaligus Direktur Program LA-Indonesia Film Festival, Stanley Chandra. Namun demikian, tantangan itu bisa diatasi dengan memilih agen representatif yang tepat, portofolio yang kaya, hingga ambisi besar sineas itu sendiri. Hal itu dicontohkan Stanley melalui sosok-sosok seperti Iko Uwais dan Joe Taslim, yang belakangan telah terlibat dalam sejumlah produksi Hollywood berskala besar, dari film Stuber (2019), Fast & Furious 6 (2013), hingga Star Trek Beyond (2016).
Satu hal yang mungkin lebih sulit dikontrol adalah praktik stereotipe yang masih terjadi dalam industri film di Hollywood.
“(Isu) inklusivitas sekarang tidak seproblematik sebelumnya dengan lebih banyaknya orang kulit berwarna yang terlibat di Hollywood di segala lininya. Akan tetapi, stereotyping peran itu masih masif, masih pekerjaan rumah di sana untuk dibenahi,” ungkap Stanley.
Ia berharap aktor dan aktris Indonesia yang mencoba berkiprah di Hollywood bisa menawarkan sesuatu yang berbeda dan beragam, “tidak melulu orang Indonesia itu harus yang pencak silat, harus parkour.”
Bisakah Sukses di Internasional Tanpa Hollywood?
Hingga saat ini, belum diketahui pasti kapan film Dial A for Aunties akan dirilis. Saat ditanya sudah sejauh mana penggarapannya, Jesse menjawab, “Saya tidak tahu sejauh mana saya boleh membagikan jawabannya.”
Yang jelas, diadaptasinya novel Dial A for Aunties oleh Netflix, yang notabene merupakan salah satu penyedia layanan video streaming berskala global, memunculkan asa akan potensi semakin dikenalnya talenta dan cerita Indonesia di kancah dunia.
Dalam wawancara bersama VOA Agustus lalu, Ernest Prakasa, sutradara sekaligus penulis skenario peraih Piala Citra 2017, menganggap kehadiran berbagai platform video streaming bisa mengubah paradigma perfilman ke depan.
“Netflix di Indonesia sebagai pemain global yang besar juga semakin agresif berburu konten lokal,” ucapnya.
Pengamat film Stanley Chandra juga menanggapi positif keberadaan platform-platform video on-demand tersebut.
“Dengan adanya streaming platform itu, menurut saya, sangat mungkin perfilman Asia bisa semakin dikenal karya-karyanya dan sukses di kancah dunia tanpa Hollywood,” ujar Stanley, “Tapi kembali ke definisi masing-masing sineas untuk ukuran sukses itu. Apakah sukses itu secara finansial atau sukses itu secara pengakuan dalam bentuk penghargaan yang bergengsi.”
Hingga artikel ini diturunkan, setidaknya ada lebih dari 30 judul film Indonesia yang bisa dinikmati pelanggan Netflix di Amerika dengan fitur teks terjemahan (subtitle), di mana dua di antaranya merupakan film yang didistribusikan langsung oleh Netflix (Netflix Originals), yaitu The Night Comes for Us dan Crazy Awesome Teachers.
Dalam pidatonya saat menerima penghargaan Film Berbahasa Asing Terbaik Golden Globe 2020 Januari lalu, sutradara Parasite, Bong Joon Ho, sempat menyentil audiens Amerika terkait khazanah perfilman mereka, “Setelah Anda mengatasi penghalang setinggi dua setengah senti yang disebut teks terjemahan (subtitle), Anda akan mengenal lebih banyak lagi film-film menakjubkan.” [rd/em]