Sebagai peratifikasi International Covenant on Civil Rights (ICCPR), para aktivis berpendapat Indonesia seharusnya melakukan pembatasan ketat terhadap praktek hukuman mati, dan memperjuangkan hukuman seumur hidup. Hal ini disampaikan pada Minggu siang, bertepatan dengan peringatan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia, tanggal 10 Oktober.
Papang Hidayat dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menilai ada perkembangan positif di Indonesia, di mana sudah hampir dua tahun tidak terjadi eksekusi mati.
Namun ada perkembangan lainnya yang dikuatirkan; seperti revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, di mana ketentuan yang baru hanya memberikan peluang pengajuan grasi (bagi terpidana mati) satu kali saja. Selain itu masih terdapat berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mencantumkan vonis mati, diantaranya RUU Rahasia Negara.
“Hukuman mati ada di sekitar 10 UU, termasuk KUHP. Kalau bisa RUU Rahasia Negara, RUU Intelijen dan RUU KIHP, jangan lagi memasukkan hukuman mati. Sebetulnya banyak langkah yang bisa diambil cepat,” ungkap Papang.
Ia menambahkan setidaknya Indonesia melakukan moratorium terhadap hukuman mati. Menurut Papang “Indonesia punya kerangka formal untuk selalu semakin progresif menuju penghapusan hukuman mati.”
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, menilai sangat ironis ketika di dalam negeri pemerintah mengurangi pidana hukuman mati, namun di luar negeri Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menghadapi peradilan yang tidak berimbang (unfair trial), tanpa didampingi pengacara.
“Kita mempertanyakan sejauh mana upaya advokasi pemerintah terhadap buruh migran yang mengalami hukuman mati, karena mereka sudah mengalami ancaman hukuman bertahun-tahun, tanpa didampingi pengacara dan penterjemah. Pihak keluarga juga tidak tahu sama sekali…” kata Anis Hidayah.
Diantara ratusan TKI yang terjerat pidana mati, tiga diantaranya adalah Bustaman bin Bukhari, Tarmizi bin Yacob, dan Parlan bin Dadeh. Ketiganya telah telah dihukum mati hingga proses hukum final di Malaysia. Sedangkan ratusan WNI lainnya diperkirakan divonis serupa di tingkat pengadilan lainnya.
Dalam pidatonya mengenai hubungan Indonesia-Malaysia awal September lalu, Presiden Yudhoyono sempat menyinggung masalah TKI, yang keberadaannya tidak dapat diabaikan karena menguntungkan kedua belah pihak.
“Ada sekitar dua juta saudara-saudara kita yang bekerja di Malaysia, di perusahaan, pertanian, dan di berbagai lapangan pekerjaan. Ini adalah jumlah tenaga kerja Indonesia terbesar di luar negeri. Tentu saja ini membawa keuntungan bersama, baik bagi Indoensia maupun Malaysia,” kata Presiden.
Namun, sikap dan pernyataan pemerintah dianggap tidak sejalan dengan fakta di lapangan. Para aktivis berharap, di masa datang pemerintah mampu memberikan bantuan hukum selayaknya bagi semua WNI yang terancam vonis hukuman mati; khususnya di negara yang sistem hukumnya dianggap masih bermasalah dalam pandangan masyarakat internasional.