Jumlah peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan hingga saat ini terus bertambah. Demikian menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Andy Yentriyani, di Jakarta pada hari Rabu.
Data Komnas Perempuan menyatakan perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan pada awal tahun 2009 berjumlah 154. Dan hingga akhir September 2010, ada penambahan 35 perda yang juga diskriminatif terhadap perempuan.
Menurut Andy Yentriyani, sebagian besar dari kebijakan-kebijakan diskriminatif ini beralasan moralitas dan agama.
Untuk itu menurut Andy, pihaknya mendesak Kementerian Dalam Negeri ikut memperhatikan kebijakan-kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, dan jangan hanya berfokus pada perda tentang retribusi dan pajak.
Sampai akhir 2009, Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan sekitar 3.000 peraturan daerah tentang retribusi dan pajak.
“Kebijakan ini justru kemudian mengakibatkan bukan saja pembatasan terhadap kesempatan perempuan untuk bisa menikmati hak-haknya sebagaimana yang telah dijamin dalam UUD negara Indonesia tahun 1945. Tapi, juga menggerogoti proses demokrasi kita dan juga menyebabkan pengeroposan pada kepastian hukum,” kata Andy.
Provinsi Jambi saat ini, misalnya, berencana menyusun perda mengenai tes keperawanan. Menurut Andy Yentriyani, jika dilaksanakan, tes keperawanan akan menyudutkan perempuan.
Dalam rencana perda tersebut, tes keperawanan akan dilakukan terhadap siswa baru untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Karena ada banyak alasan orang menjadi tidak perawan, bahkan alasan karena naik sepeda lalu jatuh, itu juga bisa menyebabkan tidak perawan. Saya pikir hak atas pendidikan jangan sampai dibatasi atas keperawanan seseorang, karena hak itu adalah tanggung jawab negara untuk memenuhinya,” ungkap Andy.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Ode Ida mengatakan adanya kebijakan daerah yang diskriminatif disebabkan tidak adanya pengawasan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah pasca-pemberlakuan otonomi daerah.
“(Pemerintah pusat) sudah mengabaikan faktor supervisi. Kewenangan pusat untuk melakukan supervisi terhadap daerah. Jangankan melakukan supervisi instrument, untuk melakukan supervisi pun dalam pembuatan kebijakan-kebijakan itu tidak ada,” jelas La Ode Ida.
Hingga kini, baru dua peraturan daerah yang diajukan ke Mahkamah Agung, di antaranya perda tentang pelarangan keluar malam bagi perempuan. Hasilnya, memutuskan Perda tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang ada.
Komnas Perempuan juga menyatakan saat ini terdapat sekitar 20 rancangan peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan.