JAKARTA —
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan Indonesia turut mendukung resolusi anti-spionase yang diajukan oleh oleh pemerintah Jerman dan Brazil di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Bentuk dukungan Indonesia itu disampaikan dengan menjadi ko-sponsor bagi rancangan resolusi yang meminta penghentian spionase internet dan pelanggaran privasi, ujar Marty saat menerima kunjungan pejabat tinggi Uni Eropa untuk urusan luar negeri dan kebijakan keamanan, Catherine Ashton di Jakarta, Senin (4/11).
Marty berharap resolusi itu bisa memastikan pemerintah Amerika Serikat dan Australia tak lagi melakukan aksi spionase terhadap Indonesia dan puluhan negara lainnya.
Dalam keterangan persnya yang diterima VOA, Marty mengatakan pemerintah Amerika Serikat dan Australia tidak membantah atau membenarkan adanya pemberitaan soal pos penyadapan.
Menurut Marty, respon awal ini tidak hanya diberikan kepada pemerintah Indonesia saja, tetapi juga kepada pemerintah negara lainnya yang turut memprotes aksi spionase yang dilakukan kedua badan intelijen negara itu.
Sebelumnya, Pemerintah Jerman dan Brasil telah mengajukan draf resolusi yang akan dimasukkan ke dalam sidang Majelis Umum PBB. Resolusi Majelis Umum PBB ini tidak mengikat, tidak seperti resolusi Dewan Keamanan PBB yang terdiri dari 15 negara. Namun resolusi ini bisa mendapat dukungan luas dari 193 negara anggota PBB sehingga membawa bobot moral dan politik.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tenne pada Selasa (5/11) mengatakan, persoalan dugaan penyadapan ini menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia karena berdampak pada hubungan persahabatan yang terjalin dengan Amerika Serikat dan Australia.
“Seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri, ini semua tidak sejalan atau tidak selaras dengan semangat hubungan persahabatan antar negara. Saya kira dampaknya di situ,” ujarnya.
Kepala Badan Intelijen Nasional Letjen TNI Purnawirawan Marciano Norman, menyatakan sedang melakukan pendalaman informasi tersebut dengan meminta penjelasan mitra lembaga di Amerika Serikat di Jakarta.
BIN, tambah Marciano, juga sedang mencari bukti dari berbagai sumber lainnya sehingga hasilnya dapat memberikan gambaran mengenai ada tidaknya penyadapan. Marciano mengatakan, jika benar adanya penyadapan iu, hal ini sangat berpengaruh terhadap kedaulatan negara.
“Kalau (benar) itu disadap, itu tentu sangat berpengaruh terhadap kehormatan kita sebagai negara. Termasuk kedaulatan kita sebagai negara. Tidak dibenarkan negara manapun menyadap negara lain,” ujarnya.
Mantan Menteri Koordinator bidang Politik Sosial dan Keamanan era Presiden Abdurrahman Wahid, Agum Gumelar berharap pemerintah lebih memaksimalkan fungsi lembaga intelijen untuk mencegah segala bentuk penyadapan dari manapun.
“Yang jelas kita perlu meningkatkan kemampuan intelijen kita. Contohnya dalam menghadapi teror. Dalam menghadapi teror intelijen kita harus kuat. Karena data intelijen sebenarnya sudah bisa dijadikan dasar untuk mencegah teror itu terjadi,” ujarnya.
“Kalau kita terlalu konvensional berdasarkan fakta hukum dulu maka kita akan selalu ketinggalan. Yang sering terjadi kan, sebuah teror terjadi terus kita panik dan baru kita usut. Ini penyadapan kan adalah salah satu bentuk teror. Intelijen kita harus kuat, itu sudah pasti.”
Harian Guardian dari Inggris baru-baru ini memberitakan, badan intelijen Australia Direktorat Sinyal Pertahanan (DSD) sudah melakukan praktik spionase terhadap Indonesia sejak penyelenggaraan KTT Perubahan Iklim tahun 2007 di Nusa Dua, Bali. Menurut Guardian, operasi penyadapan itu dibantu Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA).
Pemerintah Indonesia, hingga kini belum memperoleh kepastian dari Amerika Serikat dan Australia, mengenai dugaan penyadapan yang dilakukan kedua negara itu. Sebelumnya media Australia Sydney Morning Herald menurunkan laporan, gedung kedutaan kedua negara itu di Jakarta sekaligus berfungsi sebagai pos penyadapan.
Bentuk dukungan Indonesia itu disampaikan dengan menjadi ko-sponsor bagi rancangan resolusi yang meminta penghentian spionase internet dan pelanggaran privasi, ujar Marty saat menerima kunjungan pejabat tinggi Uni Eropa untuk urusan luar negeri dan kebijakan keamanan, Catherine Ashton di Jakarta, Senin (4/11).
Marty berharap resolusi itu bisa memastikan pemerintah Amerika Serikat dan Australia tak lagi melakukan aksi spionase terhadap Indonesia dan puluhan negara lainnya.
Dalam keterangan persnya yang diterima VOA, Marty mengatakan pemerintah Amerika Serikat dan Australia tidak membantah atau membenarkan adanya pemberitaan soal pos penyadapan.
Menurut Marty, respon awal ini tidak hanya diberikan kepada pemerintah Indonesia saja, tetapi juga kepada pemerintah negara lainnya yang turut memprotes aksi spionase yang dilakukan kedua badan intelijen negara itu.
Sebelumnya, Pemerintah Jerman dan Brasil telah mengajukan draf resolusi yang akan dimasukkan ke dalam sidang Majelis Umum PBB. Resolusi Majelis Umum PBB ini tidak mengikat, tidak seperti resolusi Dewan Keamanan PBB yang terdiri dari 15 negara. Namun resolusi ini bisa mendapat dukungan luas dari 193 negara anggota PBB sehingga membawa bobot moral dan politik.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tenne pada Selasa (5/11) mengatakan, persoalan dugaan penyadapan ini menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia karena berdampak pada hubungan persahabatan yang terjalin dengan Amerika Serikat dan Australia.
“Seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri, ini semua tidak sejalan atau tidak selaras dengan semangat hubungan persahabatan antar negara. Saya kira dampaknya di situ,” ujarnya.
Kepala Badan Intelijen Nasional Letjen TNI Purnawirawan Marciano Norman, menyatakan sedang melakukan pendalaman informasi tersebut dengan meminta penjelasan mitra lembaga di Amerika Serikat di Jakarta.
BIN, tambah Marciano, juga sedang mencari bukti dari berbagai sumber lainnya sehingga hasilnya dapat memberikan gambaran mengenai ada tidaknya penyadapan. Marciano mengatakan, jika benar adanya penyadapan iu, hal ini sangat berpengaruh terhadap kedaulatan negara.
“Kalau (benar) itu disadap, itu tentu sangat berpengaruh terhadap kehormatan kita sebagai negara. Termasuk kedaulatan kita sebagai negara. Tidak dibenarkan negara manapun menyadap negara lain,” ujarnya.
Mantan Menteri Koordinator bidang Politik Sosial dan Keamanan era Presiden Abdurrahman Wahid, Agum Gumelar berharap pemerintah lebih memaksimalkan fungsi lembaga intelijen untuk mencegah segala bentuk penyadapan dari manapun.
“Yang jelas kita perlu meningkatkan kemampuan intelijen kita. Contohnya dalam menghadapi teror. Dalam menghadapi teror intelijen kita harus kuat. Karena data intelijen sebenarnya sudah bisa dijadikan dasar untuk mencegah teror itu terjadi,” ujarnya.
“Kalau kita terlalu konvensional berdasarkan fakta hukum dulu maka kita akan selalu ketinggalan. Yang sering terjadi kan, sebuah teror terjadi terus kita panik dan baru kita usut. Ini penyadapan kan adalah salah satu bentuk teror. Intelijen kita harus kuat, itu sudah pasti.”
Harian Guardian dari Inggris baru-baru ini memberitakan, badan intelijen Australia Direktorat Sinyal Pertahanan (DSD) sudah melakukan praktik spionase terhadap Indonesia sejak penyelenggaraan KTT Perubahan Iklim tahun 2007 di Nusa Dua, Bali. Menurut Guardian, operasi penyadapan itu dibantu Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA).
Pemerintah Indonesia, hingga kini belum memperoleh kepastian dari Amerika Serikat dan Australia, mengenai dugaan penyadapan yang dilakukan kedua negara itu. Sebelumnya media Australia Sydney Morning Herald menurunkan laporan, gedung kedutaan kedua negara itu di Jakarta sekaligus berfungsi sebagai pos penyadapan.