Tahun 2009, film produksi Hollywood, Eat, Pray, Love yang dibintangi oleh aktris pemenang Oscar, Julia Roberts, syuting di Tabanan, Bali.
“Kami memang sengaja melakukan syuting di Indonesia karena ingin membuat film yang sesuai dengan bukunya,” ujar produser eksekutif Eat, Pray, Love, Stan Wlodkowski saat ditemui oleh reporter VOA, Vena Annisa, di kediamannya di Los Angeles, California, baru-baru ini.
Produser yang juga ikut dalam penggarapan film terbaru Will Smith, ‘Focus,’ ini mengatakan ia bahkan mendapat dukungan yang positif dari pemerintah Indonesia.
“Saya orang pertama yang datang ke Indonesia karena diundang oleh Bali Film Festival. Pemerintah Indonesia yang membayar tiket saya waktu itu. Saya rasa itu adalah langkah yang baik dari pemerintah Indonesia yang mencerminkan itikad baik dalam mengundang kami untuk syuting di sana dengan tangan terbuka,”jelas produser yang pernah ikut menggarap film ‘American Beauty’ yang berhasil meraih lima piala Oscar pada tahun 2000 ini.
Selain film Eat, Pray, Love, ada beberapa film Hollywood lain yang syuting di Indonesia, seperti the Philosophers (After the Dark) yang juga dibintangi oleh aktris Cinta Laura Kiehl, yang pada waktu itu mengambil lokasi syuting di Jakarta, Yogyakarta, Bromo, dan Belitung.
“Kami melakukan syuting di sebuah studio di Jakarta, di Gunung bromo, Prambanan, Belitung. Banyak variasi tempat yang sangat indah dan penuh tantangan yang berhubungan dengan cuaca dan logistik. Tapi pengalaman waktu itu fantastic,” papar John Huddles, sang sutradara kepada repoter VOA, Vena Annisa.
Menurut warga Indonesia, Baby Saskia-Tamba, yang sudah sering ikut membantu penggarapan berbagai film Hollywood seperti Beyond Skyline, Blackhat, dan Eat, Pray, Love, para sineas Hollywood memang banyak yang melirik Indonesia sebagai lokasi syuting untuk film-film mereka.
"Tiap tahun pasti akan ada film datang ke sini. Sudah pasti itu, karena saya melihat potensi yang ada di Batam, terus kru-kru kita, khususnya yang di Indonesia itu yang udah established dan sudah dikenal banyak orang Hollywood," cerita perempuan kelahiran tahun 1977 ini kepada reporter VOA, Dhania Iman baru-baru ini.
Stan Wlodkowski dan John Huddles mengaku senang dengan infrastruktur Indonesia yang memadai untuk penggarapan film, ditambah lagi dengan alat-alat yang lengkap dan sumber daya manusianya yang memiliki kemampuan yang tinggi.
“Kami mempunyai banyak kru Indonesia dan mereka adalah tim yang penuh semangat dan saya merasa sangat beruntung bisa bekerja sama dengan mereka,” kenang John Huddles.
Melihat para kru film di Indonesia yang sangat berpotensi, Stan Wlodkowski merasa tidak perlu membawa seluruh kru dari amerika.
“Kami mempekerjakan lebih banyak kru Indonesia dari yang kami asumsikan di perencanaan dana, karena mereka sangat berpengalaman. Di departemen seni, 99 persen orang Indonesia. Hanya tiga orang yang bukan orang Indonesia. Saya puas dengan pekerjaan mereka,” ujar Stan Wlodkowski.
Baby Saskia-Tamba juga mengakui kemampuan kru film asal Indonesia yang menurutnya lebih baik dibandingkan dengan kru-kru dari negara-negara tetangga.
"Karena kita banyak produksi di Indonesia. Kita banyak advertising, kita banyak shot movie, kita lebih advanced dari Malaysia dan Singapura, karena saya sudah pernah kerja di dua negara itu jadi saya bisa bandingkan, bukan gara-gara saya orang Indonesia juga. Presentase (kru)nya itu bisa 70-30 (persen). 70 Indonesia, 30 dari luar, tergantung keahliannya apa," papar perempuan yang berdomisili di Bali ini.
Selain memang jatuh cinta dengan keindahan alam Indonesia, sebagai sineas tentu saja ingin bisa menampilkan tempat yang unik yang belum pernah ada di film-film lain. “Indonesia adalah tempat yang luar biasa indah,” kenang Stan Wlodkowski.
Beberapa film produksi Hollywood yang juga pernah mengambil lokasi syuting di Indonesia antara lain adalah ‘Savages’ yang pada waktu itu syuting di pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat, lalu ‘Java Heat’ yang syuting di candi Borobudur, ‘Blackhat’ yang syuting di Jakarta, dan Beyond Skyline, yang baru saja merampungkan syutingnya di Sri Tanjung, Yogyakarta.
Walaupun memiliki potensi yang kuat, memang hingga kini belum terlalu banyak film-film internasional terutama film produksi Hollywood yang melirik Indonesia sebagai lokasi syuting, karena berbagai kendala yang ada. Lokasi yang sangat jauh dan dana menjadi beberapa faktor kendala, jika memang film yang akan digarap tidak memiliki dana yang besar.
“Jadi (sineas AS) lebih senang mencari lokasi syuting yang bisa menawarkan keringanan atau pengembalian pajak,” jelas Stan Wlodkowski.
John Huddles juga memiliki pendapat yang sama seperti Stan Wlodkowski. Semuanya kembali lagi ke masalah keuntungan dari segi finansial dan keringanan serta pengembalian pajak yang ditawarkan oleh pemerintah setempat yang bisa membuat produksi sebuah film jadi lebih hemat. Selain itu, ada beberapa hal lain yang bisa menarik perhatian para sineas internasional untuk bisa lebih sering lagi syuting film di Indonesia.
“Misalnya ketika saya melakukan syuting film ‘the Philosophers (After the Dark), saya didukung oleh presiden, duta besar dan pihak swasta. Merekalah yang menavigasi beberapa hal yang tentunya sangat membingungkan jika tidak dibantu. Kami dibantu secara logistik dan kami merasa punya partner ketika ada tantangan yang terjadi,” papar John Huddles.
“Menurut saya akan sangat membantu jika ada satu kantor yang khusus menangani proses syuting di Indonesia. Satu badan yang para pembuat film bisa datangi dan badan tersebut bisa menyampaikan apapun yang para pembuat film butuhkan untuk melakukan produksi di Indonesia,” lanjutnya.
Tidak hanya memuaskan hati para sineas internasional, tetapi kolaborasi antara kru film internasional dan kru lokal bisa menjadi sebuah proses pembelajaran, yang juga tidak kalah menguntungkan bagi perfilman di Indonesia.
"Khususnya kalau bertukar ilmu itu banyak di seni, konstruksi, kamera, dan lighting," ujar Baby Saskia-Tamba yang saat ini tengah sibuk dalam penggarapan film seri Marco Polo untuk musim tayang yang ke-2 ini.
Sebagai contoh, berdasarkan pengalamannya ketika menggarap film Beyond Skyline di Yogyakarta, ia mengajarkan para kru dari Selandia Baru untuk membuat berbagai props film dengan cara tradisional yang lebih murah.
“Jika para pembuat film Indonesia ingin belajar tata cara dan prosedur produksi film Hollywood, maka ikut serta dalam produksi film Hollwyood di Indonesia bisa dijadikan sarana tersebut. Semakin banyak produksi film internasional yang melakukan syuting di Indonesia, proses pembelajaran itu akan semakin banyak. Akhirnya tinggal dipilih mana cara yang bisa diadaptasi oleh perfilman Indonesia (dan) mana yang tidak,” ujar John Huddles menutup wawancara dengan VOA.