Peningkatan kasus COVID-19 yang didorong oleh varian baru Omicron di tiga negara, yaitu Inggris, Denmark, dan Afrika Selatan, memberikan pelajaran penting bagi Indonesia untuk tetap mewaspadai kemungkinan perebakan kasus dari varian yang sama di dalam negeri.
Juru Bicara Pemerintah Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, mengatakan peningkatan kasus di tiga negara itu pun diharapkan bisa dijadikan Indonesia sebagai pembelajaran dalam menghadapi varian Omicron.
"Tiga negara yang dapat dijadikan pembelajaran adalah Inggris, Denmark, dan Afrika Selatan. Ketiga negara ini telah menerapkan kebijakan karantina dan pembatasan pelaku perjalanan internasional. Bedanya dengan Indonesia, ketiga negara itu menghadapi tantangan kasus Omicron dalam jumlah yang cukup besar," kata Wiku dalam siaran pers Perkembangan Penanganan COVID-19 di Indonesia, pada Selasa (14/12).
Saat ini Inggris sedang mengalami kenaikan kasus varian Omicron yang cukup signifikan. Dalam konperensi pers tersebut, Wiku menunjukkan bahwa data kenaikan kasus varian Omicron di Inggris melonjak sebesar 51,5 persen dalam satu bulan terakhir.
"Sebelumnya kasus tersebut sempat turun meskipun hanya sedikit," ujar Wiku.
Pada Senin (13/15),seperti dilansir oleh Reuters, Inggris melaporkan kematian pertama kasus COVID-19 yang disebabkan oleh varian Omicron. Konfirmasi tersebut merupakan kasus kematian pertama di dunia yang disebabkan oleh varian tersebut, walaupun disinyalir kematian dari kasus serupa sudah terjadi di negara-negara lain.
Wiku menjelaskan bahwa kondisi yang dialami Inggris terjadi di tengah sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Perdana Menteri Boris Johnson dalam upaya mengekang penyebaran varian baru tersebut, di antaranya dengan mewajibkan karantina bagi para pendatang.
"Sayangnya kebijakan karantina yang ditetapkan Inggris ternyata tidak mampu menahan masuknya varian baru. Saat ini terdapat lebih 3.000 kasus yang terkonfirmasi disebabkan oleh varian Omicron," jelasnya.
Sementara itu, jumlah kasus varian Omicron di Denmark mengalami peningkatan drastis yakni hampir sebesar 2.000 persen dalam kurun waktu dua setengah bulan. Lonjakan tersebut juga terjadi di tengah upaya kebijakan pembatasan perjalanan internasional yang diberlakukan di Denmark.
Lonjakan kasus varian Omicron juga ditemukan di Afrika Selatan. Mirisnya, kasus varian Omicron di negara itu naik di angka 7.000 persen hanya dalam kurun waktu satu bulan. Afrika Selatan sebelumnya juga telah menerapkan kebijakan perjalanan internasional.
"Saat ini konfirmasi varian Omicron di Afrika Selatan sudah mencapai 779 kasus," ucap Wiku.
"Meskipun saat ini COVID-19 di Indonesia terbilang terkendali dan belum terdeteksi kasus Omicron. Namun, Indonesia tidak lengah dan ikut mengantisipasi varian Omicron ini dengan memberlakukan kebijakan perjalanan internasional. Kebijakan ini telah dirancang sedemikian rupa dengan melibatkan berbagai pakar dan kementerian terkait. Semata-mata demi keamanan seluruh masyarakat," pungkasnya.
Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan kebijakan perjalanan internasional dan karantina yang diterapkan berbagai negara untuk mencegah masuknya varian Omicron tidak pernah efektif.
"Itu memperjelas bahwa sebenarnya travel warning itu tidak pernah efektif. Travel ban harus dihindari karena dalam setiap wabah yang bisa mencegah negara dari suatu ancaman virus adalah satu sistem screening kesehatan perbatasan yang kuat. Lalu, konsisten dengan sistem kesehatan yang kuat," katanya kepada VOA, Rabu (15/12).
Lanjut Dicky, kebijakan seperti melakukan karantina disertai tes PCR untuk pelaku perjalanan internasional tersebut belum cukup mencegah masuknya varian Omicron.
"Sangat belum cukup. Ketika suatu varian ditemukan itu bukan berarti lahirnya pada hari itu juga. Artinya negara yang memiliki standar keamanan perbatasan tidak memadai besar kemungkinan akan terdampak," tandasnya. [aa/rs]