Pemerintahan Taliban di Afghanistan, Selasa (20/12) memutuskan melarang kaum hawa kuliah, setelah beberapa bulan lalu juga melarang perempuan melanjutkan studi ke SMP dan SMA.
Seorang juru bicara Kementerian Pendidikan Tinggi Afghanistan membenarkan soal larangan tersebut kepada CNN. Sebuah surat keputusan yang dikeluarkan oleh kementerian itu menyebutkan larangan dibuat berdasarkan keputusan rapat kabinet dan langsung berlaku saat itu juga.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani kepada VOA, Rabu (21/12), menjelaskan pemerintah Indonesia sangat prihatin dan menyesalkan larangan tersebut.
"Karena yang jelas kebijakan seperti itu tidak sesuai dengan semangat konferensi yang kita adakan di Bali beberapa waktu yang lalu, di mana kita berusaha untuk mengarusutamakan pendidikan perempuan, tapi ini justru sebaliknya yang terjadi. Kita tentunya sangat menyesalkan sekali," kata Abdul Kadir.
Keputusan Taliban untuk melarang perempuan berkuliah keluar dua pekan setelah Indonesia bersama Qatar membuat konferensi internasional pertama di Bali awal bulan ini yang membahas pendidikan dan pemberdayaan perempuan Afghanistan. Pertemuan tersebut bertujuan memobilisasi dukungan internasional terhadap hak perempuan Afghanistan atas pendidikan.
Meski begitu, lanjutnya, pemerintah Indonesia berharap pemerintahan Taliban di Afghanistan dapat memenuhi semua janjinya, di antaranya menghormati hak asasi manusia, termasuk wanita. Dia menambahkan masyarakat internasional selalu menunggu realisasi dari komitmen yang telah disampaikan Taliban.
Taliban pada awal pemerintahannya pernah berjanji akan menciptakan pemerintahan yang inklusif, menghormati hak asasi manusia terutama hak perempuan dan anak serta tidak menggunakan wilayah Afghanistan sebagai sarang dan basis terorisme.
Abdul Kadir menegaskan larangan bagi perempuan Afghanistan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi merupakan sebuah langkah mundur. Dia berharap Taliban meninjau kembali kebijakan itu. Pendidikan adalah hak asasi yang mendasar, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Indonesia senantiasa mendesak Taliban untuk menyediakan akses seluas-luasnya terhadap pendidikan untuk perempuan.
Indonesia lanjutnya sangat yakin bahwa partisipasi perempuan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Afghanistan sangat penting bagi terwujudnya Afghanistan yang damai, stabil dan sejahtera.
Abdul Kadir mengatakan Indonesia masih optimisitis untuk terus melibatkan diri dalam membantu persoalan di Afghanistan. Dia mengakui semua hal yang dilakukan tetap berpulang pada bagaimana tanggapan dari pemerintahan Taliban. Abdul Kadir mengakui semua upaya untuk membantu Taliban memang menghadapi tantangan.
Sementara itu, Pengamat Hubungan internasional dari Universitas Indonesia Yon Machmudi menduga larangan terhadap perempuan untuk kuliah tersebut berasal dari Emir Taliban Hibatullah Akhundzada, yang memang dikelilingi oleh ulama sangat konservatif.
"Kebijakan itu pasti akan membuat dunia internasional semakin tidak simpati terhadap Afghanistan yang dipimpin oleh Taliban. Tapi memang komposisi Taliban sendiri saya kira kelompok yang lebih konservatif pandangannya, terutama dalam implementasi ajaran Islam, tampaknya lebih dominan," ujar Yon.
Yon menjelaskan berbagai upaya seperti dialog telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam usaha memberikan semacam pengaruh dalam hal bagaimana impelementasi ajaran agama Islam di dalam wilayah publik terkait persoalan itu.
Terakhir, pemerintah Indonesia juga melakukan konferensi internasional terkait soal pendidikan bagi perempuan Afghanistan. Namun, Yon menilai ada yang kurang dalam konferensi tersebut, yakni tidak melibatkan aktivis perempuan yang berasal dari kelompok Taliban. Sebagian besar yang berpartsipasi adalah aktivis perempuan Afghanistan yang tinggal di luar Afghanistan.
Alhasil, lanjut Yon, tidak ada proses dialog yang mampu memberikan pengaruh signifikan karena lebih banyak melibatkan aktor-aktor yang tinggal di luar Afghanistan.
“Harusnya kemudian dialog itu bisa dilakukan dengan lebih banyak melibatkan orang-orang yang ada di Afghanistan termasuk juga aktivis-aktivis perempuan di Afghanistan maupun yang berasal di Taliban karena ini menyangkut dengan praktek dan juga kebijakan yang ada di Afghanistan yang dialami oleh orang-orang Afghanistan. Ya memang perlu lebih banyak melibatkan orang-orang dari kelompok Taliban untuk masuk dalam proses konferensi maupun dialog yang diinisiasi oleh Indonesia,” kata Yon.
Menurut Yon, komunikasi dan juga pertemuan dengan Taliban masih bisa dilakukan untuk memberikan pengaruh tanpa harus didahului dengan pengakuan atas pemerintahan Afghanistan yang dipegang oleh Taliban. Meski demikian Yon mengakui hal itu memang menjadi hambatan sendiri.
Yon berharap pertemuan-pertemuan atau pelatihan yang dilakukan yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, sebanyak mungkin harus melibatkan pihak-pihak yang ada di Afghanistan termasuk juga mereka yang berafiliasi dengan kelompok Taliban terutama dari kelompok perempuan.
Taliban sudah berkuasa di Afghanistan sejak 15 Agustus 2021 namun sampai sekarang belum ada satu pun negara yang mengakui pemerintahan mereka. [fw/ab]
Forum