Singapura kemarin mengumumkan bahwa kasus serangan virus Zika di negara itu telah mencapai angka 275 pasien. Dengan ditemukannya pasien di Malaysia dan Filipina, tentu wajib diwaspadai penyebarannya ke Indonesia.
Namun, para ahli yang dihubungi VOA menegaskan, Indonesia secara umum sebenarnya cukup siap menghadapi Zika. Jadi, menurut mereka, tidak perlu ada kekhawatiran berlebih, meskipun kewaspadaan perlu ditingkatkan.
Peneliti dalam program Eliminate Dengue Project (EDP) di Pusat Kedokteran Tropis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dr. Citra Indriani, M.P.H. mengatakan, Zika mirip dengan virus dengue atau demam berdarah. Karena sama-sama disebarkan oleh nyamuk, maka yang sangat penting dilakukan adalah upaya pencegahan.
Selama bertahun-tahun, masyarakat Indonesia sudah memahami bagaimana berhadapan dengan nyamuk demam berdarah. Dengan metode yang sama, seperti kebersihan lingkungan, meminimalkan genangan air, dan pemberantasan sarang nyamuk, secara otomatis ancaman Zika bisa dikurangi.
Salah satu kelemahan yang masih dimiliki Indonesia adalah karena hanya ada dua laboratorium yang mampu menganalisis virus Zika, yaitu lembaga biologi molekuler Eijkman serta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.
Citra merekomendasikan adanya perhatian khusus terhadap kota-kota yang memiliki hubungan transportasi langsung dengan Singapura, baik laut maupun udara. Pengamatan seksama perlu dilakukan, terutama bagi mereka yang datang disertai demam. Dia meyakini, Kementerian Kesehatan sudah melakukan tindakan yang cukup terkait hal ini, terutama di sejumlah bandara di Indonesia.
EDP sendiri saat ini terus mengembangkan penggunaan bakteri Wolbachia untuk memerangi virus dengue. Melihat berbagai kesamaan yang ada, pengembangan bakteri ini untuk melawan Zika sedang dilakukan rekan-rekan mereka dalam program yang sama di Brazil. Jika berhasil, Indonesia bisa menggunakan metode serupa.
“Secara laboratorium sudah menunjukkan bahwa Zika bisa diblok oleh Wolbachia di dalam tubuh nyamuk, dan saat in metode ini sedang diterapkan di Brazil, di mana negara itu sedang terdampak Zika. Dan digunakan untuk pengendaliannya. Harapan kami memang selain bisa untuk dengue, wolbachia juga bisa untuk Zika,” kata Citra Indriani.
Wakil Kepala Lembaga Eijkman bidang Penelitian Fundamental, Herawati Sudoyo Supolo Ph. D kepada VOA menyatakan, Indonesia perlu melakukan identifikasi yang cepat dalam kasus Zika. Perlu koordinasi untuk pemanfaatan teknologi yang sudah ada, ke berbagai institusi di seluruh Indonesia, agar memiliki kemampuan deteksi seperti halnya Eijkman dan Kementerian Kesehatan.
Menurut Herawati, Indonesia sebenarnya sudah cukup lama hidup dengan Zika. Namun, virus ini belum memperoleh perhatian khusus, dan dikalahkan oleh demam berdarah. Karena itu tidak mengherankan, bahwa data mengenai virus demam berdarah di Indonesia lebih lengkap dibanding Zika yang nyaris tidak ada. Bahkan Indonesia belum memiliki peta persebaran Zika, karena selama ini memang tidak dianggap berbahaya. Kini, Zika ditakuti karena dinyatakan berhubungan dengan kelahiran bayi-bayi yang abnormal.
Zika di Indonesia masih satu kluster dengan Zika di Amerika Selatan, yaitu jenis Asia. Karena itu, meski belum bisa dipastikan apakah Zika akan membawa dampak yang sama pada ibu-ibu hamil seperti di Amerika Selatan, Herawati menilai, Indonesia harus memiliki kekhawatiran bahwa dampaknya memang akan sama. Kerja sama seluruh pihak terkait dibutuhkan, jika kondisi penyebaran semakin mengkhawatirkan.
“Kalau-kalau terjadi wabah, maka menjadi tugas dari seluruh sektor untuk menanganinya. Ini lebih ke tugas multisektoral. Saya kira kalau melihat pengalaman Indonesia, seharusnya bisa. Kalau bicara mengenai Indonesia, ini sangat komplek karena negara kelautan, jadi menurut saya yang penting itu kepedulian masyarakat. Mereka harus benar-benar terlibat di sini,” kata Herawati Sudoyo Supolo.
Menurut catatan Lembaga Eijkman, Zika sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi Indonesia. Tahun 1981, sudah ditemukan kasus di Klaten, Jawa Tengah. Dua tahun kemudian terjadi di Lombok, di mana 6 dari 71 sampel yang diperiksa dinyatakan positif Zika. Tahun 2013 ada seorang wisatawan Australia terdeteksi di Jakarta, dan dua tahun setelahnya seorang laki-laki dari Bali yang masuk Australia dinyatakan positif Zika.
Pemerintah Brazil melaporkan setidaknya telah ada 2.700 bayi menderita mikrosefali, dan diduga terkait Zika. Mikrosefali adalah gangguan sistem saraf langka yang menyebabkan kepala bayi mengecil dan tidak berkembang sepenuhnya. Otak bayi tidak tumbuh seperti seharusnya. Gangguan ini dapat terjadi ketika bayi berada dalam kandungan atau dalam tahun-tahun pertama setelah kelahiran. Belum ditemukan data jumlah bayi penderita mikrosefali di Indonesia.
Kementerian Kesehatan sendiri sudah mengeluarkan peringatan perjalanan ke negara-negara yang sedang terjangkit Zika. Masyarakat diminta lebih waspada terhadap gigitan nyamuk. Perempuan hamil bahkan disarankan untuk sama sekali tidak berkunjung ke negara-negara terjangkit.
Sedangkan kepada mereka yang baru pulang dari negara-negara tersebut, diharapkan memantau kondisi kesehatan dan segera memeriksakan diri jika mengalami demam dalam waktu 14 hari sesudahnya. [ns/lt]