Dalam dua dasawarsa terakhir, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu berkisar 300 per 100.000 kelahiran. Pemerintah memiliki target menurunkan angka itu menjadi 183 per 100.000 kelahiran pada tahun 2024. Namun Atashendartini Habsjah, aktivis dari Gabungan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI), mengkhawatirkan angka itu tidak akan tercapai.
Kekhawatiran itu dia sampaikan, ketika GPPI bersama UNFPA dan UN Women menyelenggarakan dialog "Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan di Indonesia: Isu Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Perempuan serta Harmfull Practices", Kamis (3/12).
“Indikatornya kan, katanya tahun 2024 diharapkan angkanya menjadi 183 per 100 ribu, ini terlihat sekali tidak akan terjadi, apalagi yang SDGs , yang ditargetkan tercapai pada 2030. Tidak mungkin tahun 2024 tercapai 183, karena dari 305 per 100 ribu saja tidak turun-turun,” kata Atashendartini. SDGs adalah kepanjangan dari sustainable development goals atau tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.
Kendala di Banyak Sisi
Angka kematian ibu melahirkan yang masih sangat tinggi dan tidak membaik dalam dua dasawarsa tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Lebih membingungkan lagi, sejak 2014 Indonesia sudah memiliki BPJS Kesehatan. Skema tanggungan dana kesehatan, termasuk proses melahirkan ini, seharusnya mampu menekan angka kematian ibu melahirkan. Kenyataannya, skema itu tidak banyak membantu.
Atashendartini mengutip sejumlah data pemerintah yang mendukung kondisi itu. Antara lain bahwa 77 persen kematian ibu melahirkan justru terjadi di fasilitas kesehatan dan di rumah. Selain itu, angka kematian ibu dalam jangka 14 hari setelah melahirkan juga cukup tinggi, yang membuktikan buruknya perawatan bagi mereka.
Jika ditilik lebih dalam, fenomena itu juga menggambarkan kasus keguguran yang tidak tertangani dengan baik. Program rumah singgah bagi ibu yang akan melahirkan, untuk mendekatkan mereka yang dari wilayah terpencil ke fasilitas kesehatan, juga belum terlaksana.
“Selain itu juga tidak ada rumah singgah untuk ibu melahirkan. Ada laporan dari Ambon, di Maluku sebagai wilayah kepulauan, di mana belum ada layanan rumah singgah bagi ibu melahirkan seperti yang dikatakan pemerintah,” tambah Atashendartini.
Statistik juga menyebutkan, 60 persen remaja putri Indonesia mengalami anemia. Gangguan kesehatan ini memprihatinkan karena penderitanya bisa tidak siap untuk hamil dan melahirkan. Penyebab kematian ibu melahirkan yang terdata, 27 persen disebabkan pendarahan hebat, 15 persen karena komplikasi non obstetrik, dan 33 persen akibat hipertensi.
Tingkatkan Pemakaian Kontrasepsi
Deputi Kepala Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, Eni Gustina dalam diskusi ini menggarisbawahi konsentrasi lembaga itu untuk memutuskan siklus kematian ibu melahirkan. Fenomena ini harus dilihat secara menyeluruh, dari berbagai faktor mulai dari pernikahan anak, stunting, anemia di kalangan remaja hingga kehamilan yang tidak diinginkan.
Salah satu strategi pembenahan secara kelembagaan, menurut Eni, adalah memastikan ibu melahirkan langsung menggunakan alat kontrasepsi usai persalinan.
“Kepala BKKBN mengharapkan, semua rumah sakit berkomitmen, ketika persalinan di rumah sakit ibu melahirkan diyakinkan pulang 100 persen memakai kontrasepsi. Ini salah satu cara kita untuk mempercepat penurunan kematian ibu melahirkan,” kata Eni.
Program-program lain juga terus dilaksanakan, seperti pendampingan keluarga Balita, edukasi dan konseling remaja dan penurunan stunting. Edukasi kesehatan reproduksi yang dilakukan, kata Eni antara lain adalah memastikan kesiapan pasangan yang akan menikah. Minimal tiga bulan sebelum pernikahan harus dipastikan bahwa calon pengantin perempuan telah siap hamil dari sisi fisik, mental, dan kesehatan, serta ada kesiapan finansial. Pilar utama, sebagaimana kampanye yang telah melegenda dilakukan, adalah Keluarga Berencana (KB).
Eni memaparkan, strategi pendekatan yang dilakukan di Indonesia akan sangat beragam. Karena itulah, katanya, penerapan metode di setiap provinsi diusulkan menyesuaikan kondisi masing-masing. Eni memberi contoh, dua kabupaten di Jawa Timur memiliki tingkat kematian ibu melahirkan cukup tinggi. Namun setelah didalami, penyebabnya berbeda. Di satu kabupaten, banyak perkawinan anak terjadi karena gaya pergaulan remaja. Sementara di kabupaten yang berbeda, perkawinan anak lebih didominasi oleh faktor orang tua. Pada sebuah kasus ekstrem, orang tua membolehkan anak mereka yang baru berusia 13 tahun dilamar laki-laki berumur 60 tahun.
“Di sana budayanya kalau keluarga punya anak perempuan, dia akan lebih bersyukur daripada punya anak laki-laki. Akibat ekonomi, anak perempuan itu dianggap sebagai aset. Dan kalau sudah ada yang melamar tidak boleh menolak. Ide yang pernah dibicarakan, setiap provinsi punya sentra rujukan kespro. Jadi remaja bisa berkonsultasi,” kata Eni.
Tantangan Aborsi Aman
Berbagai persoalan lain juga dibicarakan dalam diskusi ini, karena diyakini kematian ibu melahirkan terkait dengan berbagai faktor. Salah satunya adalah aborsi aman. Wanti Mashudi dari Komnas Perempuan mengatakan, diskusi mengenai aborsi aman ditujukan untuk mendukung korban, misalnya korban perkosaan. Seharusnya, negara melindungi praktik dan bahkan menyediakan lembaga yang aman untuk melakukannya, tetapi tidak terlaksana hingga saat ini.
“Kalau kemudian Komnas Perempuan memuat hal itu, karena berkaca pada peristiwa yang terjadi di Bengkulu pada tahun 2018, di mana kasus menimpa gadis berusia 15 tahun yang diperkosa saudara laki-lakinya dan melakukan aborsi, tetapi kemudian dikriminalisasi,” kata Wanti.
Saat ini, layanan aborsi aman bagi korban perkosaan yang diberikan lembaga non pemerintah terancam oleh hukum. Ada sejumlah penggerebekan yang dilakukan penegak hukum di sejumlah tempat praktik, padahal tempat itu memberikan layanan aborsi aman bagi korban. Aborsi tidak aman adalah salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu melahirkan.
Kemunduran Beberapa Isu
Indonesia juga dinilai mundur dalam kampanye kesehatan reproduksi. Salah satu yang fenomenal adalah munculnya rancangan undang-idang yang akan mengkriminalisasi tindakan edukasi, seperti memperlihatkan alat kontrasepsi kepada remaja, sebagai tindak melawan hukum.
Pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi, dengan tujuan agar perempuan tidak hamil ketika menerima tindak kekerasan seksual juga harus diperhatikan. Begitu pula kekerasan seksual terhadap perempuan difabel, dan upaya aborsi aman yang mungkin dia ambil sebagai tindak lanjut. Pendidikan kesehatan reproduksi di Indonesia juga masih menjadi tantangan, meskipun isu ini sudah menjadi kampanye banyak lembaga sejak beberapa dasawarsa terakhir.
Isu lain yang terkait dan butuh perhatian adalah tingginya praktik sunat perempuan di Indonesia. Pencegahan HIV/Aids juga menjadi tugas bersama, terutama kemudahan akses obat bagi ODHA. Pemerintah juga didesak meningkatkan pelatihan bagi tenaga kesehatan untuk menekan kasus kematian ibu melahirkan. Para aktivis mengingatkan, ada 14 ribu kematian ibu melahirkan tercatat pada 2018, atau rata-rata 39 kematian setiap hari yang harus diatasi.
Organisasi Dana Populasi PBB, UNFPA mengawal berbagai isu itu bersama para aktivis untuk mendesak pemerintah Indonesia mengambil langkah perbaikan lebih nyata. Apalagi, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau CEDAW (The Convention on Elimination of all Forms of Discrimination Against Women). [ns/ab]