Pemerintah Indonesia pekan ini dikejutkan dengan dibukanya dokumen-dokumen rahasia milik pemerintah Amerika Serikat (AS) terkait peristiwa Gerakan 30 September1965 dan serangkaian peristiwa sesudahnya yang dideklasifikasi atau dibuka pada publik Selasa (17/10) lalu.
Menhan Ryamizard Ryacudu di Kantor Staf Kepresidenan, Gedung Bina Graha, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (19/10) mengatakan akan menanyakan hal ini secara langsung kepada Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jim Mattis dalam pertemuan para menteri pertahanan dunia di Filipina 25 Oktober mendatang.
"Ya pasti saya tanyakanlah. Kalau nanti saya ke Amerika pasti saya tanyakan. Atau nanti saya panggil duta besar Amerika untuk menjelaskan. Gak kita diemin begitu aja. Tapi kita juga 'gak nuduh juga," tandas Ryamizard.
Ryamizard dalam waktu dekat ini juga akan menanyakan hal ini kepada Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R Donovan.
"Nanti saya tanya dulu dengan dubes. Saya sering makan-makan dengan dia. Kan juga saya nanti ketemu di Amerika (dengan Menhan), nanti saya tanya ini gimana sih? Baik-baik ajalah. Yang kayak gitu kita bisa ngorek, tapi kalau maksa 'gak mau dia," imbuhnya.
Menteri koordinator bidang Politik Hukum dan keamanan Wiranto mengungkapkan, dokumen tragedi 1965 yang dibuka oleh pihak Amerika Serikat tidak bisa begitu saja dijadikan acuan ataupun bahan penyelidikan oleh Pemerintah Indonesia.
"Adanya dokumen dari Amerika Serikat atau dari manapun tidak serta merta dokumen itu kita jadikan bagian dari suatu proses penyelidikan. Tentunya perlu suatu upaya untuk meyakini betul apakah informasi-informasi dari luar negeri bisa menjadi bagian dari upaya pembuktian-pembuktian itu," ujar Wiranto.
Pemerintah Indonesia lanjut Wiranto telah sepakat penyelesaian kasus pelanggaran HAM tragedi 1965 tidak dengan proses hukum atau non yudisial.
"Di Polhukam sudah berkali-kali melakukan rapat koordinasi. Gimana caranya menyelesaikan itu ? Dengan komnas HAM juga kita rapat. Tetapi apa yang terjadi bahwa, kejadian yang sudah terjadi begitu lama memunculkan suatu banyak analisis mengenai masalah itu ya. Sehingga untuk masuk dalam proses yudisial betul-betul sangat sulit. Sehingga waktu itu kita untuk mencegah terjadinya friksi di masyarakat yang mengganggu kondisi saat ini maka kemudian kita sepakati dengan non yudisial," tambahnya.
Koordinator umum International People Tribunal (IPT) 1965 Nursyahbani Katjasungkana kepada VOA mengatakan dokumen ini menjelaskan adanya dukungan dari pemerintah Amerika kepada mantan Presiden Soeharto untuk melakukan pemusnahan terhadap orang-orang PKI dan mereka yang dituduh PKI.
"Setidaknya dari dokumen itu tidak ada bukti bahwa Amerika terlibat dalam pembunuhan para Jenderal. Tapi ada bukti bahwa Amerika membantu Soeharto untuk melakukan pemusnahan PKI dan orang-orang yang dianggapp PKI," ungkap Nur.
Pusat Deklasifikasi Nasional (NDC), bagian dari Badan Administrasi Rekaman dan Arsip Nasional AS (NARA), mempublikasikan arsip-arsip rahasia "Jakarta Embassy Files" yang dibuat pada periode 1964-1968. Arsip ini diproduksi oleh Kedutaan Besar AS yang berkedudukan di Jakarta. Dalam periode ini, ada dua duta besar AS yang pernah bertugas, Howard P. Jones (1958-1965) dan Marshall Green (1965-1969).
Dari penelusuran VOA melalui situs https://nsarchive.gwu.edu/briefing-book/indonesia/2017-10-15/indonesia-mass-murder-1965-us-embassy-files, dokumen ini menjelaskan pemerintah AS mengetahui secara rinci peran Angkatan Darat dalam kampanye pembantaian massal terhadap PKI sejak 1965. Ada 39 dokumen yang dibuka sesudah 52 tahun peristiwa G30S 1965, yang merupakan bagian dari hampir 30.000 halaman.
Dokumen ini juga menjelaskan secara rinci mulai dari peristiwa pembunuhan enam jendral Angkatan Darat dan satu perwira menengah, kampanye pembubaran PKI oleh Angkatan Darat dibantu dengan kelompok organisasi sipil, penangkapan dan pembunuhan lebih dari 500 ribu orang yang dituduh PkI atau organisasi pengikutnya, hingga penggulingan kekuasaan Sukarno dan naiknya Soeharto sebagai Presiden RI.
Dari penelusuran VOA, salah satu dokumen bernomor 16 menyebutkan adanya dukungan dari Amerika kepada Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, untuk melakukan pembunuhan massal orang-orang PKI.
Dokumen tersebut bisa diakses di tautan berikut: http://nsarchive2.gwu.edu//dc.html?doc=4107026-Document-16-Airgram-A-353-Joint-Weeka-No-45-from
“...offers one of the first acknowledgements of Suharto’s support of, or orders for, mass killings of PKI supporters. The Embassy reports that “In a series of meetings with youth leaders from several parties General Nasution expressed his determination to continue the campaign to repress the PKI, which has reached the stage of mass executions in several Indonesian provinces, apparently at the behest of General Suharto in Central Java at least.” “Both in the provinces and in Djakarta, repression of the PKI continued, with the main problem being that of what to feed and where to house the prisoners. Many provinces appear to be successfully meeting this problem by executing their PKI prisoners, or by killing them before they are captured, a task in which Moslem youth groups are providing assistance.” [aw/em]