Minyak goreng curah yang beredar di pasaran, tidak pernah jelas siapa produsennya. Karena itu, kualitas khususnya dari sisi higienitas patut dipertanyakan. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNl), Sahat Sinaga tegas meminta pemerintah mengevaluasi produk ini dari pasaran.
“Kita harus mendorong, agar minyak goreng curah itu betul-betul dihapus. Karena tidak ada yang bisa mengontrol, apakah dalam bentuk curah itu dari bekas jelantah? Kemudian produsennya tidak jelas. Supaya dengan serius, pemerintah mengarahkan pengalihan ke minyak goreng kemasan sederhana, dan itu sudah ada Minyakita,” kata Sahat dalam diskusi Dilema Minyak Goreng Sawit, yang digelas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kamis (28/7).
Minyakita adalah minyak kemasan sederhana yang diluncurkan Kementerian Perdagangan, sesaat setelah jabatan menteri dipegang Zulkifli Hasan menggantikan Muhammad Lutfi. Minyak kemasan ini lebih murah dari produk kemasan serupa, dan diharapkan mampu menekan kenaikan harga minyak goreng di pasar. Kelebihannya, Minyakita diklaim lebih higienis dan dijamin kualitasnya, dibanding minyak curah.
Untuk menguatkan program ini, Sahat menyarankan pemerintah menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengurus minyak kemasan sederhana, dari hulu sampai ke hilir. Apalagi, pemerintah telah menyatakan memiliki 18 ribu titik penjualan Minyakita yang memudahkan distribusi ke masyarakat.
“Bagaimana kontribusi pemerintah? Buatlah harga minyak goreng Minyakita itu lebih murah daripada minyak curah. Bagaimana tekniknya? Satu setengah tahun coba diberikan PPN Nol persen, ditangung pemerintah. Itu, langsung kalau curah Rp14 ribu BUMN bisa menjual Rp13 ribu. Orang akan lari ke minyak goreng kemasan sederhana,” tambah Sahat.
Yang tidak disadari pemerintah selama ini adalah, bahwa konsumen telah beralih dari budaya membeli minyak curah ke minyak kemasan. Dalam proses itu, ada edukasi bagi masyarakat untuk mengonsumsi minyak goreng yang lebih bersih dan sehat. Proses ini harus terus berlanjut.
Tiga Indikator Konsumen
Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut, ada tiga faktor yang mempengaruhi pemilihan produk oleh konsumen.
“Saya kira pada konteks konsumen mikro secara real di dalam mengonsumsi suatu barang, itu kan setidaknya ada tiga indikator. pertama aksesibilitas, kedua affordabilitas, dan ketiga adalah kualitas,” ujarnya dalam diskusi ini.
Aksesiblitas, kata Tulus bermakna bahwa pasokan minyak yang harus mudah dijangkau oleh konsumen. Agar mudah dijangkau, persoalan di sektor hulu dan hilir minyak goreng harus diatasi oleh pemerintah. Tidak boleh ada kebijakan yang instan, yang akan terganggu kembali jika terjadi lonjakan harga bahan bakun minyak goreng di dunia.
“Sehingga solusinya, mestinya solusi permanen dan memberikan kepastian hukum dan kepastian pada konsumen, bahwa kemudahan dalam menggunakan minyak goreng itu dijamin oleh negara,” tegasnya.
Afordabilitas bermakna keterjangkauan. Pengertiannya, kata Tulus, sekalipun harga minyak goreng diserahkan pada mekanisme pasar, pemerintah harus mampu melakukan intervensi-intervensi agar harga itu rasional.
“Jangan sampai minyak goreng yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat ini, kemudian harganya tunduk kepada mekanisme pasar,” tegasnya.
Faktor ketiga adalah kualitas, di mana minyak goreng yang dikonsumsi harus memiliki standar hieginitas yang baik.
“Soal minyak goreng curah ini sudah kita dorong sejak lama. Menteri perdagangan yang lama sudah komitmen untuk menghapus minyak goreng curah, karena memang standar higienanis dan kualitasnya tidak jelas,” tambahnya.
Minyak Curah Tidak Dipilih
Penelitian yang dilakukan I Gede Mahatma Yuda Bakti dari BRIN juga mengonfirmasi, bahwa kualitas minyak goreng menjadi salah satu alasan pemilihan produk oleh konsumen. Karena itu, mayoritas konsumen tidak beralih ke minyak curah, ketika harga minyak goreng kemasan naik.
“Mengapa konsumen itu tidak mau beralih ke minyak goreng curah? Karena yang jadi pertanyaan, adalah bagaimana aspek higienitasnya,” kata Bakti.
Bakti mengatakan, ada perubahan perilaku di kalangan responden sebelum dan sesudah terjadi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Perubahan itu khususnya terkait dengan konsumsi, jumlah yang dikonsumsi dan frekuensinya.
“Dan menariknya adalah, ternyata mereka tidak beralih ke minyak curah. Itu tidak menjadi pilihan utama, mereka lebih memilih dengan mengurangi dari sisi jumlah dan frekuensinya,” tambah Bakti.
Artinya, ketika harga naik dan pasokan langka, konsumen dengan anggaran belanja tetap tidak mengalihkan produk yang dipilih ke minyak curah. Mereka memilih minyak kemasan dengan merk berbeda, yang lebih murah harganya. Selain itu, secara sadar mereka juga mengurangi penggunaan minyak goreng di rumah tangga, misalnya dengan metode memasak yang berbeda.
Penelitian ini juga mengungkap, konsumen masih bisa menerima harga minyak goreng antara Rp15 ribu hingga Rp19.200, untuk satu liter.
Faktor yang diterapkan konsumen menurut penelitian BRIN adalah, harga yang terjangkau di urutan pertama, kualitas seperti aspek higienitas di posis kedua, dan faktor kemudahan untuk memperolehnya.
“Tiga faktor ini menjadi faktor utama ketika konsumen memilih minyak goreng, dan memang konsumen itu tidak loyal terhadap merk tertentu, tetapi lebih kepada tiga hal itu,” tambah Bakti. [ns/ab]
Forum