Tekanan memuncak terhadap Perdana Menteri Inggris Theresa May untuk melangsungkan referendum kedua tentang keluar atau tidaknya Inggris dari Uni Eropa – atau yang dikenal dengan istilah “Brexit” – dan gagasan ini mulai menarik dukungan dari seluruh spektrum politik, termasuk dari tokoh-tokoh yang sebelumnya menentang, yaitu mantan ketua Partai Kemerdekaan Inggris dan penggagas Brexit Nigel Farage.
Pergeseran sentimen publik ini melatarbelakangi upaya Perdana Menteri Theresa May untuk mencapai konsensus ketika berbicara dengan mitranya di kabinet yang terpecah.
May bulan ini melangsungkan serangkaian pembicaraan dengan para menteri untuk mencoba mencapai kesepakatan tentang hubungan pasca-Brexit seperti apa yang sedianya dilakukan ketika berunding dengan Uni Eropa, mitra dagang terbesar Inggris.
Upaya sebelumnya untuk mencapai konsensus telah terbukti tidak membuahkan hasil karena begitu ia terlihat setuju, para menteri itu segera berbalik menyampaikan tuntutan baru. Para menteri dalam kabinetnya secara fundamental terpecah, dan menambah kebingungan dan kekhawatiran publik tentang Brexit.
Sebagian anggota parlemen benar-benar ingin lepas dari Eropa, lainnya berharap bisa menyelamatkan hubungan yang sudah berurat-berakar dan membuat Inggris tetap dalam pasar dan tariff tunggal kelompok itu tetapi di luar struktur politiknya dan tidak punya suara dalam membuat keputusan yang dilakukan institusi kelompok, seperti Norwegia. [em/al]