Inggris kini menjelang peluncuran kampanye vaksinasi COVID-19-nya.
Para staf di Layanan Kesehatan Nasional Inggris, penghuni panti-panti jompo dan perawat mereka pada hari Selasa (8/12) akan mulai menerima satu dari dua dosis vaksin yang dikembangkan bersama oleh perusahaan farmasi raksasa AS Pfizer dan perusahaan farmasi Jerman BioNTech.
Prakarsa ini akan dimulai hampir sepekan setelah badan regulator medis pemerintah memberikan izin penggunaan darurat vaksin, membuat Inggris sebagai negara Barat pertama yang siap memulai imunisasi massal. Persetujuan itu diberikan beberapa pekan setelah Pfizer menyatakan vaksinnya telah menunjukkan efektivitas lebih dari 90 persen setelah uji klinis terakhirnya yang dilakukan secara luas.
Inggris menerima 800 ribu dosis vaksin Pfizer/BioNTech hari Minggu, yang pertama dari total 40 juta dosis yang dibelinya. Pengiriman vaksin ini diperumit oleh fakta bahwa vaksin harus disimpan di lemari-lemari pendingin bersuhu sangat rendah, minus 70 derajat Celsius.
Media berita Inggris hari Minggu melaporkan bahwa Ratu Elizabeth II yang berusia 94 tahun dan suaminya, Pangeran Philip yang berusia 99 tahun, akan mengumumkan kapan mereka diimunisasi, dengan harapan dapat meyakinkan masyarakat Inggris mengenai keamanannya.
Dalam perkembangan terpisah, Serum Institute of India telah mengajukan permohonan untuk penggunaan darurat, vaksin COVID-19 yang sedang dikembangkan oleh perusahaan farmasi raksasa Inggris AstraZeneca bekerja sama dengan University of Oxford. Serum, produsen vaksin terbesar di dunia, sangat condong pada vaksin AstraZeneca/Oxford karena vaksin itu dapat disimpan pada suhu 2 hingga 8 derajat Celsius, berbeda dengan keharusan menyimpan dalam suhu superdingin bagi vaksin Pfizer/BioNTech.
Di AS, regulator kesehatan hari Kamis akan bertemu untuk mempertimbangkan apakah akan mengesahkan penggunaan darurat vaksin Pfizer/BioNTech, disusul pertemuan kedua sepekan kemudian untuk membahas vaksin lain yang sedang dikembangkan oleh perusahaan bioteknologi AS, Moderna.
Dunia mencatat lebih dari 67,1 juta kasus COVID-19, termasuk lebih dari 1,5 juta kematian akibat virus corona. AS memimpin di dunia dalam kedua kategori itu, dengan 14,7 juta kasus dan 282.312 kematian, sebut Johns Hopkins University. [uh/ab]