Lebih dari 2.000 pendukung pro-kemerdekaan berdemonstrasi di Provinsi Papua hari Selasa setelah terjadi kekerasan politik yang menewaskan sedikitnya 21 orang.
Di Jayapura, para demonstran berpawai melewati barisan polisi yang bersenjata lengkap untuk mendukung referendum mengenai kemerdekaan dan tidak mengakui hasil pemungutan suara yang didukung PBB tahun 1969 yang memasukkan Papua ke dalam kekuasaan Indonesia. Banyak warga Papua menganggap referendum itu sebagai sandiwara karena hanya diikuti sekitar 1.000 orang, kebanyakan di bawah ancaman.
Andreas Harsono, peneliti pada Human Rights Watch, menjelaskan mengapa warga asli Papua merasa referendum itu tidak sah.
Ia mengatakan “Wakil-wakil rakyat itu dipaksa memilih Indonesia. Ada banyak kisah tentang bagaimana orang yang menentang integrasi itu ditangkap, disiksa, dan bahkan dibunuh.”
Tahun 2001 Indonesia memberi status otonomi khusus kepada Papua, yang memberi warga Papua kekuasaan lebih besar atas pendapatan dari pajak yang berasal dari eksploitasi sumber-sumber alam.
Papua kaya akan sumber alam dan tempat beroperasinya perusahaan tambang emas dan tembaga Amerika, Freeport McMoRan. Ketegangan antara para pekerja tambang dengan tentara Indonesia juga mengakibatkan kekerasan.
Warga Papua mengatakan upaya untuk mendapat otonomi yang lebih besar tidak berhasil. Dalam sepuluh tahun sejak mendapat status khusus mereka hanya melihat sedikit perbaikan dalam pemberantasan kemiskinan dan pengangguran. Marginalisasi ekonomi, pelecehan HAM oleh tentara Indonesia, dan gelombang masuknya migran yang mengambil pekerjaan-pekerjaan terbaik adalah penyebab gerakan kemerdekaan masih kuat.
Dalam demonstrasi-demonstrasi sebelumnya polisi menangkapi para demonstran yang membawa bendera Bintang Kejora, lambang gerakan kemerdekaan Papua. Memajang lambang-lambang gerakan separatis dianggap sebagai pengkhianatan yang diancam hukuman seumur hidup.
Namun, kekerasan tetap berlangsung, dan sebagian analis masalah keamanan mengingatkan meningkatnya radikalisasi di antara kelompok-kelompok yang merasa kekerasan sebagai satu-satunya cara untuk menarik perhatian internasional.
Demonstrasi hari Selasa itu terjadi setelah pecah dua insiden kekerasan. Hari Sabtu lebih dari 17 orang tewas dalam bentrokan antara kelompok etnis yang mendukung calon-calon yang bersaing dalam pemilihan bupati mendatang. Kemudian pada hari Senin sekelompok laki-laki bersenjata memblokir jalan di luar Jayapura, dan membunuh empat orang dalam serangan dini hari.