Aktivis hak-hak sipil Kurdi Iran, Pakhshan Azizi, dijatuhi hukuman mati. Putusan tersebut lalu memicu protes luas dari para pengguna media sosial dan organisasi-organisasi HAM. Protes mereka tersebut mengecam Republik Islam Iran atas pembalasan brutalnya terhadap aktivis perempuan.
Pengacara Azizi menerima putusan itu pada Selasa (23/7).
Putusan tersebut merupakan hukuman mati kedua bagi seorang tahanan politik perempuan di Iran dalam beberapa pekan terakhir. Sebelumnya, Sharifeh Mohammadi, seorang aktivis buruh yang ditahan di Penjara Lakan di Rasht, dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Revolusi Islam di kota tersebut, juga atas tuduhan pemberontakan.
“Saya tak percaya.. Saya tak percaya. Kakak laki-laki Pakhshan Azizi mengumumkan bahwa Pakhshan telah menerima hukuman mati. Aku tidak percaya, mimpi buruk macam apa ini,” kata Atefeh Nabavi, seorang aktivis sipil dan mantan tahanan politik, menulis dalam sebuah postingan di jejaring sosial X.
Organisasi HAM Hengaw, sebuah kelompok advokasi Kurdi, menekankan bahwa Azizi dijatuhi hukuman mati sementara “dia tidak diberi akses untuk mendapatkan pengacara dan kunjungan keluarga selama beberapa bulan, dan proses hukumnya dilakukan dengan cara yang tidak transparan dan tidak adil.”
Hengaw baru-baru ini merilis sebuah surat dari Azizi, dia mana ia mengatakan bahwa dirinya telah berulang kali disiksa dan digantung selama penahanannya.
“Mereka melakukan balas dendam terhadap aktivis perempuan dengan cara yang paling brutal,” kata Fatemeh Shahrazad Shams, seorang aktivis hak-hak perempuan. “Mereka berulangkali menjatuhkan hukuman mati, pemenjaraan jangka panjang, pengasingan, dan membuat tahanan perempuan menderita sakit yang mencurigakan. Semua itu adalah kejahatan berkelanjutan yang dilakukan oleh Republik Islam Iran terhadap perempuan. Kita tidak boleh tinggal diam dalam menghadapi ketidakadilan brutal ini.”
Sementara itu, Jaringan HAM Kurdistan melaporkan bahwa “Penjatuhan hukuman mati terhadap Azizi hampir bertepatan dengan kasus aktivis Kurdi lainnya, Wrisha Moradi, anggota Asosiasi Perempuan Bebas Kurdistan Timur, atau KJAR, yang sedang menunggu hukuman atas tuduhan serupa setelah penangkapannya di Sanandaj, Provinsi Kurdistan.”
Azizi ditangkap pada 4 Agustus 2023 oleh Kementerian Intelijen di Kharazi, Teheran. Dia diinterogasi dan disiksa di Pusat Penahanan Intelijen sebelum dipindahkan ke Bangsal 209 Penjara Evin, dan kemudian ke bangsal perempuan. Dia kemudian didakwa melakukan “pemberontakan karena keanggotaannya dalam kelompok oposisi.”
Azizi hadir di hadapan Pengadilan Revolusi Islam Cabang 26 di Teheran, yang dipimpin oleh Hakim Iman Afshari, pada tanggal 28 Mei dan 16 Juni 2024, untuk menanggapi tuduhan pemberontakan.
Sebelumnya, Azizi menulis surat berjudul “Penyembunyian Kebenaran dan Alternatifnya,” yang diterima Hengaw dan diterbitkan pada 21 Juli, hanya dua hari sebelum pengumuman hukuman matinya. Dalam surat tersebut, dia merinci pengalamannya ditangkap dan disiksa oleh badan keamanan.
Azizi juga memiliki riwayat penangkapan. Dia pertama kali ditangkap pada November 2009 saat terjadi protes mahasiswa menentang eksekusi politik di Kurdistan. Dia kemudian dibebaskan dengan jaminan 100 juta toman – sekitar Rp 25 juta -- pada 19 Maret 2010.
Dia telah berkali-kali menghadapi tuduhan keanggotaan dalam kelompok-kelompok oposisi, namun dia dengan tegas membantahnya.
Aparat keamanan dan peradilan Iran sering kali menerapkan tuntutan keamanan yang berat terhadap aktivis yang ditahan, sehingga berujung pada hukuman yang berat. Praktik tersebut menuai kritik signifikan dari organisasi-organisasi HAM di seluruh dunia. [ab/ps]
Forum