Militer Israel, Selasa (7/5) mengatakan pasukan mereka telah mengambil kendali penyeberangan Rafah di sisi Gaza, di antara Jalur Gaza dan Mesir, satu hari setelah memerintahkan puluhan ribu warga Palestina meninggalkan area itu, dan meluncurkan serangan udara yang berulang.
Operasi Israel dilakukan beberapa pekan setelah para pejabat mereka mengatakan, serangan di Rafah diperlukan untuk mencapai tujuan mereka mengalahkan Hamas.
Sementara itu, AS, PBB dan pihak lain memperingatkan bahwa meluncurkan serangan di area yang dipenuhi warga sipil Palestina itu bisa menghadirkan bencana kemanusiaan.
“Saya takut ini akan menjadi penyebab jatuhnya lebih banyak korban jiwa, korban jiwa masyarakat sipil. Apapun yang mereka katakan,” kata Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrel kepada para jurnalis, Selasa (7/5). “Tidak ada area aman di Gaza,” imbuhnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, mengutip “tuntutan yang besar dari komunitas internasional” seiring tuntutan negara itu kepada Israel agar berhenti menyerang Gaza dan lebih memilih “melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk menghindari bencana kemanusiaan lebih serius di Jalur Gaza”.
Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz mengunggah di media sosial bahwa pergerakan negara itu ke Rafah adalah dalam upaya meraih tujuan utamanya, termasuk pembebasan para sandera yang ditahan Hamas dan mengalahkan kelompok militan itu.
Perkembangan di Rafah juga terjadi setelah sebuah pengumuman dari Hamas bahwa kelompok ini telah menerima proposal gencatan senjata yang disusun oleh negosiator dari Mesir dan Qatar.
Kantor Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu mengatakan pada Senin, bahwa proposal gencatan senjata itu “jauh dari tuntutan utama Israel”, tetapi Israel akan mengirim negosiator ke Kairo untuk melanjutkan pembicaraan.
Sepanjang pekan lalu, upaya untuk mengamankan gencatan senjata diintensifkan. Termasuk di antaranya perjalanan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken ke kawasan itu dan seruan berulang kali kepada Hamas, bahwa Israel telah membuat sejumlah kompromi, dan karena itu Hamas harus menerima proposal tersebut.
Para pejabat Israel mengatakan kepada media bahwa rencana yang disetujui Hamas bukanlah rencana yang akan disetujui Israel. Tetapi tidak jelas apa, jika ada, yang telah berubah dari proposal gencatan senjata yang akan diterima Hamas itu, tetapi ditolak Israel.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Gedung Putih mengatakan, mereka memantau tanggapan Hamas terkait proposal gencatan senjata.
Status negosiasi gencatan senjata nampaknya tidak berdampak pada rencana Israel untuk menyerang Rafah. Netanyahu mengatakan pekan lalu bahwa sebuah operasi di Rafah akan dilakukan, ada atau tanpa adanya gencatan senjata.
Kantor Netanyahu, Senin (6/5) mengatakan bahwa Kabinet Perang Israel “memutuskan dengan suara bulat bahwa Israel melanjutkan operasi di Rafah untuk mendesakkan tekanan militer terhadap Hamas, dengan tujuan untuk membebaskan para sandera kami dan tujuan-tujuan lain dari perang”.
AS, Senin (6/5) mendesak seluruh pihak agar mencapai kesepakatan bagi penghentian sementara pertempuran dan pembebasan para sandera yang masih ditahan Hamas di Gaza.
“Kami ingin para sandera tersebut dibebaskan,” kata John Kirby, juru bicara keamanan nasional John Kirby.
“Kami ingin gencatan senjata selama enam pekan. Kami ingin meningkatkan bantuan kemanusiaan dan hal terakhir yang ingin saya lakukan adalah mengatakan apapun di podium ini yang akan membahayakan proses tersebut. Terlepas dari itu, seperti yang kami sampaikan sebelumnya, kami masih percaya bahwa mencapai kesepakatan adalah benar-benar hasil terbaik, tidak hanya bagi para sandera, tetapi juga bagi rakyat Palestina,” ujarnya lagi.
Presiden AS Joe Biden berbicara dengan PM Israel Benjamin Netanyahu melalui telepon, Senin (6/5), menegaskan posisi AS bahwa operasi Rafah harus mencakup rencana untuk memastikan keselamatan rakyat Palestina. Sebuah pernyataan Gedung Putih menyebut bahwa Netanyahu setuju “untuk memastikan perlintasan Kerem Shalom terbuka untuk bantuan kemanusiaan bagi mereka yang membutuhkan.”
Biden juga menjadi tuan rumah bagi Raja Yordania di Gedung Putih, di mana mereka berbincang tentang situasi di Gaza.
WHO mengatakan, sekitar 1,2 juta orang berlindung di Rafah. Kebanyakan dari mereka datang dari wilayah lain di Gaza, melarikan diri dalam upaya mencari keamanan dan perlindungan, saat serangan Israel terhadap Hamas menjadikan mayoritas Jalur Gaza menjadi reruntuhan.
Dalam sebuah pernyataan, Senin (6/5), Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa dia “sangat prihatin dengan indikasi bahwa operasi militer skala besar di Rafah mungkin sudah dekat. Kita sudah melihat pengungsian rakyat, kebanyakan dari mereka putus asa dengan kondisi kemanusiaan dan telah berulangkali mengungsi,” kata dia.
Dia juga mendesak Israel maupun Hamas untuk “berupaya lebih banyak untuk mewujudkan kesepakatan menjadi nyata.”
Direktur Jendral WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mencuit pada Senin (5/7) di plaform media sosial X, “Sebuah serangan militer skala penuh ke Rafah, akan menjerumuskan krisis ini ke tingkat kebutuhan kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gencatan senjata sangat dibutuhkan demi kemanusiaan.”
Badan bantuan PBB untuk Palestina, UNRWA, mengatakan di media sosial pada Senin bahwa operasi Israel di Rafah, akan menciptakan “lebih banyak penderitaan dan kematian warga sipil,” dan konsekuensi “kehancuran” bagi lebih dari 1 juta orang yang berlindung di sana. [ns/uh]