Misi kemanusiaan ke Jalur Gaza oleh Flotilla Mission, yang dijadwalkan berangkat dari Istanbul, Turki pada bulan lalu, akhirnya ditunda. Penundaan tersebut terjadi karena belum tersedianya bendera negara untuk dua dari tiga kapal yang akan berlayar.
Muhammad Nur Ikhwan, seorang aktivis pro-Palestina dari organisasi non-pemerintah Indonesia, Aqsa Working Group, menjelaskan bahwa sebelum berangkat, Guinea-Bissau menolak benderanya dipakai.
"Ini lagi cari bendera lain yang memang untuk ditaruh di kapal itu. Alhamdulillah, udah puluhan negara mencoba mendaftar. Proses pendaftaran bendera ini kan butuh waktu dua atau tiga pekan, sehingga peserta-peserta (misi Flotilla) diminta untuk balik dulu ke negaranya masing-masing. Nanti kalau sudah dapat bendera kemudian rencana keberangkatan sudah disiapkan, (semua peserta) kembali lagi (ke Istanbul)," katanya kepada VOA, Senin (6/5).
Ikhwan menjelaskan bahwa sebelum bendera Guinea-Bissau ditarik, pemerintah negara tersebut melakukan inspeksi di Istanbul untuk memeriksa kelayakan kapal misi Flotilla yang akan berlayar ke Gaza. Hasil pemeriksaan itu menunjukkan bahwa tidak ada alasan untuk menolak pemasangan bendera Guinea-Bissau pada kapal tersebut.
Namun, pada hari berikutnya, saat misi hendak berlayar, pemerintah Guinea-Bissau mengirimkan surat yang melarang kapal tersebut berlayar ke Gaza. Mereka juga meminta surat konfirmasi dari otoritas pelabuhan tujuan misi Flotilla. Pemerintah Guinea-Bissau hanya memberikan waktu dua jam bagi penyelenggara Misi Flotilla ke Gaza untuk memberikan surat konfirmasi tersebut.
Padahal 1.200 aktivis dari lebih 40 negara, termasuk enam warga Indonesia, telah berada di Istambul selama tiga pekan. Istanbul merupakan negara yang menjadi titik atau tempat keberangkatan ketiga kapal yang akan membawa ribuan ton bantuan kemanusiaan tersebut. Ketiga kapal itu terdiri dua kapal penumpang dan satu kapal kargo.
Misi serupa pernah dilakukan pada awal Mei 2010, tetapi gagal mencapai Gaza karena diserbu pasukan komando Israel. Akibatnya, sepuluh pegiat kemanusiaan tewas, termasuk sembilan orang Turki.
Ikhwan menyatakan bahwa jika mereka berhasil mencapai Gaza, ia bersama rekan-rekannya dari Maimunah Center dan Al Aqsa Working Group akan segera memulai persiapan untuk pembangunan Rumah Sakit Ibu dan Anak di Gaza. Kedua lembaga ini telah memperoleh tanah seluas kurang lebih 5.000 meter persegi.
Alasan membangun Rumah Sakit Ibu dan Anak itu, tambahny,a karena sebagian besar korban agresi militer Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023 adalah perempuan dan anak-anak. Dia mengakui sulit untuk memprediksi berapa lama proses pembangunan rumah sakit tersebut karena Gaza adalah wilayah konflik.
Ikhwan juga belum dapat memastikan kapan misi Flotilla ke Gaza akan dilaksanakan. Dia menyatakan bahwa pada tahun 2008, terdapat 20 misi kemanusiaan ke Gaza, tetapi hanya satu yang berhasil mencapai tujuannya.
Ikhwan menekankan kalau perlintasan Rafah yang menghubungkan Mesir dan Gaza dibuka bebas, maka tidak perlu ada misi Flotilla untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi rakyat Palestina di Gaza.
Dia menyebutkan semua peserta misi Flotilla ke Gaza sudah siap karena selama di Istanbul juga sudah menjalani pelatihan tanpa kekerasan bila pasukan Israel menyerbu ke atas kapal.
"Karena kita memang relawan kemanusiaan yang memang tanpa senjata, (dan) segala macam, ketika ada infiltrasi itu, kita diminta untuk nggak melawan. Kita diminta untuk tetap tenang dan menyampaikan argumen bahwa kita menyampaikan misi kemanusiaan. Begitu inti dari pelatihannya," ujarnya.
Ikhwan menjelaskan bahwa dalam pelatihan yang diikuti para relawan, tidak ada latihan fisik yang dilakukan. Mereka ditekankan bahwa dalam menghadapi ancaman apapun, para relawan harus tetap tidak melawan.
Dia menambahkan satu dari tiga kapal, Kapal Anadolu, membawa bantuan kemanusiaan seberat 5.500 ton berupa makanan, obat-obatan, ambulans, pakaian, dan kebutuhan dasar sebagainya.
Ikhwan mengakui bahwa misi Flotilla ke Gaza ini bukan yang pertama baginya. Dia juga berpartisipasi dalam misi 2010 yang diikuti oleh sekitar 700 peserta dari lebih dari 30 negara. Keberaniannya untuk ikut dalam misi Flotilla tahun ini direncanakan demi memperlancar proses pembangunan Rumah Sakit Ibu dan Anak di Gaza.
Dia berharap pula perang Gaza bisa segera selesai sehingga bantuan bisa segera masuk ke Gaza yang memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat di sana.
Selain Ikhwan, ada juga Nurhadis, seorang wartawan dari Mina News, yang turut serta dalam misi Flotilla tahun ini. Dia menyatakan bahwa telah beberapa kali meliput di wilayah terkena bencana alam atau bencana akibat perang, termasuk di Myanmar.
Alasan dirinya ikut dalam misi Flotilla ke Gaza tahun ini adalah karena ia ingin turut berperan membantu rakyat Palestina di Gaza melalui liputan berita yang akan dilakukannya.
Meski sudah berkeluarga, istrinya mendukung kerjanya sebagai wartawan dan aktivis kemanusiaan biasa meliput di daerah bencana. Dia mencontohkan dirinya ditugas meliput gempa Lombok selama sebulan meski saat itu anaknya baru berumur delapan hari.
Hadis mengaku termotivasi pula untuk meliput ke wilayah konflik, termasuk Gaza, setelah mewawancarai dua wartawan di Istanbul. Salah satunya adalah seorang wartawan dari Inggris yang turut serta dalam misi Flotilla pada tahun ini meskipun baru saja menikah selama tiga hari.
"Artinya saya merasa masih jauh lah dibandingkan dengan mereka yang ada di Gaza. Sampai sekarang ada 141 jurnalis yang (mati) syahid di Gaza. Mereka perjuangannya lebih besar kalau dibandingkan dengan saya hanya meninggalkan keluarga beberapa hari. Itu jadi motivasi buat saya," tuturnya.
Ketika berangkat ke Istanbul, dia tidak terlalu banyak menyampaikan kondisi di Gaza dan risiko yang akan dihadapi. Di Istanbul semua relawan kemanusiaan diberi pembekalan tentang kondisi di kapal, kemudian diberikan instruksi apa yang akan dilakukan jika kapal dibajak dan diserang oleh pasukan Israel.
Hadis mencatat bahwa penyelenggara menyelenggarakan pelatihan non-kekerasan yang wajib diikuti oleh semua relawan yang ikut dalam misi Flotilla tahun ini, mengambil pelajaran dari misi sebelumnya pada 2010.
"Di pelatihan itu, kami diberikan bagaimana caranya ketika nanti ditangkap oleh Israel. Bagaimana harus bersikap, tidak boleh melakukan kekerasan dan sebagainya, kekerasan verbal maupun fisik. (Hal ini) supaya tidak memprovokasi Israel untuk melakukan tindakan yang lebih keras," katanya.
Ketika misi Flotilla ini ditunda, ia merasa kecewa karena tujuannya untuk mengawal bantuan sampai ke Gaza belum tercapai. Dia menyadari bahwa bantuan seperti makanan, pakaian, obat-obatan, dan sebagainya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Palestina di Gaza.
Menurut informasi dari penyelenggara, lanjutnya, perjalanan misi Flotilla dari Istanbul ke Gaza biasanya memakan waktu sekitar 15 jam dalam keadaan normal. Jika kapal tiba di Gaza, penyelenggara memberikan waktu dua minggu bagi organisasi pemerintah dan aktivis lainnya untuk menjalankan kegiatan mereka di sana sebelum kembali ke Istanbul. Nurhadis berharap bantuan kemanusiaan dapat segera disalurkan ke Gaza.
Perang Gaza yang bergejoak sejak 7 Oktober 2023 masih belum mereda. Baru-baru ini, Israel bahkan mengumumkan adanya operasi baru di Rafah. Kementerian Kesehatan Palestina menyebut korban tewas hingga 6 Mei 2024 mencapai 34.735 orang. Di saat yang sama, sekitar 78.108 orang mengalami luka-luka dan sulit mendapatkan pertolongan medis karena sejumlah fasilitas utama telah hancur akibat serangan Israel. [fw/ah]
Forum