Israel mengatakan pemulangan 120 warga Afrika ke Sudan Selatan merupakan langkah pertama sebelum mengusir ribuan lainnya. Lebih dari 4.000 migran yang berasal dari negara-negara Afrika yang punya hubungan dengan Israel akan dipulangkan dengan pesawat udara setiap minggu.
Menyebut para migran itu sebagai “penyusup,” Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan Israel melakukan deportasi dengan cara berperikemanusiaan sambil mempertahankan martabat negara.
Setiap migran yang dipulangkan diberi 1.000 euro untuk membantu mereka memulai hidup baru di Sudan Selatan.
Namun bagi para migran itu, deportasi merupakan hukuman. Banyak migran telah bertahun-tahun tinggal di Israel, menyelamatkan diri dari perang atau kemiskinan, dan melarikan diri ke negara Yahudi yang relatif makmur. Simon Meir, yang menyebut dirinya pengungsi Sudan, mengatakan, ia dan lainnya ingin mendapatkan suaka di Israel.
“Kami secara damai minta agar pengungsi dari Sudan bisa diakui sebagai pengungsi di sini, memperoleh hak mereka, mendapat layanan kesehatan, pendidikan, dan semua hal seperti ini,” ujarnya.
Namun, Israel mengatakan kebanyakan dari 60.000 warga Afrika yang datang ke Israel sejak tahun 2005 bukan pengungsi, tetapi para migran yang mencari kerja. Para migran Afrika itu dituding menyebabkan naiknya gelombang kejahatan, termasuk, katanya, perkosaan gadis-gadis Yahudi, mengakibatkan tindakan balasan di kalangan warga Israel yang menuntut pemulangan mereka.
Para pejabat Israel mengatakan para migran itu mengancam keamanan dan karakter negara Yahudi, dan pemulangan warga Sudan Selatan merupakan awal kampenye untuk mengusir banyak warga Afrika dari negara itu. Tetapi, berkata lebih mudah daripada berbuat. Sementara Israel punya hubungan diplomatik dengan Sudan Selatan, mayoritas besar warga Afrika di Israel berasal dari Sudan dan Eritrea, yang dianggap sebagai “negara-negara musuh.”
William Tall dari badan PBB untuk urusan pengungsi mengatakan Israel terikat oleh perjanjian-perjanjian internasional.
“Siapa pun yang berasal dari Sudan, karena statusnya sebagai negara musuh, dianggap sebagai pengungsi de-facto, juga dari Eritrea; Pemerintah Israel mengakui, tidak bisa memulangkan siapa pun karena adanya risiko penyiksaan terhadap mereka di sana,” ujar Tall.
Para aktivis HAM dan kalangan intelektual Israel mengecam Pemerintah Israel atas pemulangan para warga Afrika itu. Mereka mengatakan, Israel adalah negara pengungsi yang dibangun karena adanya Holocaust. Israel punya kewajiban moral untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan.
Menyebut para migran itu sebagai “penyusup,” Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan Israel melakukan deportasi dengan cara berperikemanusiaan sambil mempertahankan martabat negara.
Setiap migran yang dipulangkan diberi 1.000 euro untuk membantu mereka memulai hidup baru di Sudan Selatan.
Namun bagi para migran itu, deportasi merupakan hukuman. Banyak migran telah bertahun-tahun tinggal di Israel, menyelamatkan diri dari perang atau kemiskinan, dan melarikan diri ke negara Yahudi yang relatif makmur. Simon Meir, yang menyebut dirinya pengungsi Sudan, mengatakan, ia dan lainnya ingin mendapatkan suaka di Israel.
“Kami secara damai minta agar pengungsi dari Sudan bisa diakui sebagai pengungsi di sini, memperoleh hak mereka, mendapat layanan kesehatan, pendidikan, dan semua hal seperti ini,” ujarnya.
Namun, Israel mengatakan kebanyakan dari 60.000 warga Afrika yang datang ke Israel sejak tahun 2005 bukan pengungsi, tetapi para migran yang mencari kerja. Para migran Afrika itu dituding menyebabkan naiknya gelombang kejahatan, termasuk, katanya, perkosaan gadis-gadis Yahudi, mengakibatkan tindakan balasan di kalangan warga Israel yang menuntut pemulangan mereka.
Para pejabat Israel mengatakan para migran itu mengancam keamanan dan karakter negara Yahudi, dan pemulangan warga Sudan Selatan merupakan awal kampenye untuk mengusir banyak warga Afrika dari negara itu. Tetapi, berkata lebih mudah daripada berbuat. Sementara Israel punya hubungan diplomatik dengan Sudan Selatan, mayoritas besar warga Afrika di Israel berasal dari Sudan dan Eritrea, yang dianggap sebagai “negara-negara musuh.”
William Tall dari badan PBB untuk urusan pengungsi mengatakan Israel terikat oleh perjanjian-perjanjian internasional.
“Siapa pun yang berasal dari Sudan, karena statusnya sebagai negara musuh, dianggap sebagai pengungsi de-facto, juga dari Eritrea; Pemerintah Israel mengakui, tidak bisa memulangkan siapa pun karena adanya risiko penyiksaan terhadap mereka di sana,” ujar Tall.
Para aktivis HAM dan kalangan intelektual Israel mengecam Pemerintah Israel atas pemulangan para warga Afrika itu. Mereka mengatakan, Israel adalah negara pengungsi yang dibangun karena adanya Holocaust. Israel punya kewajiban moral untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan.